Review : Sesat
“Yang namanya setan itu, nggak ada yang gratisan.”
Selama empat pekan berturut-turut di bulan Agustus ini, khalayak ramai yang bertandang ke bioskop ditawari tontonan memedi dengan kualitas bermacam-macam. Diawali oleh Kafir Bersekutu dengan Setan yang terbilang baik, kemudian dilanjut Sebelum Iblis Menjemput yang ciamik, kemudian diteruskan oleh Gentayangan yang bikin kepala nyut-nyutan, parade film horor tanah air di bulan Agustus ini diakhiri dengan Sesat produksi Rapi Films (penghasil Pengabdi Setan). Tidak seperti dua film pertama – lebih mendekati ke film pekan lalu – Sesat kurang terlihat menggiurkan apabila hanya berpatokan pada materi promonya. Generik adalah kesan pertama yang diperoleh usai menengok trailernya. Jika ada yang menarik perhatian aku sehingga kekeuh untuk tetap mencicipi Sesat di layar lebar yaitu jejak rekam sang sutradara, Sammaria Simanjuntak. Dia ialah sosok dibalik keberhasilan dua film indie, Cin(t)a (2009) dan Demi Ucok (2013), yang bolak-balik ke aneka macam panggung penghargaan film. Menengok apa yang telah diperbuatnya untuk dua film tersebut, saya tak mempunyai keraguan bahwa Sammaria bisa mengkreasi film elok. Yang kemudian menggelitik keingintahuan saya dikala hendak menonton Sesat adalah sejauh mana kapabilitasnya dalam menggarap film horor yang terperinci bukan berada di zona nyamannya. Akankah dia bisa menangani tantangan ini sebaik film drama atau justru menghadapkannya pada kesulitan besar?
Karakter yang memiliki peranan krusial dalam Sesat adalah seorang atlet lari berjulukan Amara (Laura Theux). Meski hubungannya dengan sang ibu (Vonny Cornelia) kurang sedap, Amara mempunyai ikatan yang kuat dengan sang ayah (Willem Bevers) yang kerap menemaninya berlari, mengajarinya goyang pantat untuk menghapus kesedihan, serta bersedia ditodong uang jajan untuk beli bra. Sayangnya, kebersamaan antara Laura dengan sosok paling dicintainya ini tidak berlangsung usang alasannya sang ayah mesti menghadap ke Sang Khalik usai direnggut nyawanya dalam sebuah kecelakaan. Dirundung duka, sang ibu pun menetapkan untuk mengajak Amara beserta Kasih (Rebecca Klopper), putri bungsunya, untuk memulai hidup gres di Desa Beremanyan bersama ayahnya (Arswendy Bening Swara) yang sedang menjalani riset mengenai penunggu setempat untuk novelnya. Sesampainya di desa ini, Amara mulai mengalami satu dua kejadian gila – termasuk menyadari tidak ada anak muda di desa ini – yang seketika membuatnya bertanya-tanya mengenai sosok penunggu yang mendiami sumur keramat tersebut. Dari hasil penelusurannya, Amara mengetahui bahwa Setan Beremanyan bisa mengabulkan ajakan insan. Berharap bisa berkomunikasi untuk terakhir kalinya dengan sang ayah, Amara pun nekat menjalani ritual pemanggilan Setan Beremanyan yang lantas mendatangkan serentetan musibah baginya sekaligus bagi orang-orang di sekitarnya.
Selama belasan menit pertama, potensi Sesat untuk terhidang sebagai tontonan memedi yang ketje sebetulnya telah terendus. Tengok saja dari konsep Desa Beremanyan yang seperti tak terjamah peradaban modern serta hanya didiami oleh warga lanjut usia. Bukankah ini cukup untuk membangkitkan bulu kuduk? Apalagi bila kau melihat bagaimana tatapan mereka kepada keluarga Amara di dikala kendaraan beroda empat yang mereka tumpangi melintasi perkampungan. Seram. Seolah-olah mereka sedang mengincar tumbal untuk diserahkan kepada si penunggu. Tambahkan dengan plot mengenai kehilangan orang terkasih yang memungkinkan untuk dikembangkan menjadi narasi mengharu biru, Sesat memulai langkahnya dengan meyakinkan... atau setidaknya begitulah dalam bayangan aku yang bersemangat dalam mencari tahu pendekatan mirip apa yang akan ditempuh oleh Sammaria. Semangat tersebut semakin mengepul dikala si pembuat film memunculkan teror perdananya yang mesti diakui mampu membuat diri ini terlonjak dari kursi bioskop. Kentara, film telah mengikuti jalan setapak menuju ke arah yang benar. Semangat yang berkobar-kobar karena menyadari kemungkinan Sesat bergabung dengan Sebelum Iblis Menjemput ini secara perlahan tapi pasti mulai meredup terhitung sedari tersibaknya misteri besar mengenai Desa Beremanyan dan identitas si penunggu di paruh awal yang lantas mendorong Amara untuk menjalani ritual pemanggilan setan.
Kengerian yang ditimbulkan oleh penampakan perdana dan atmosfer misterius yang menguar dari desa tak bertahan usang. Di menit-menit berikutnya, trik menakut-nakuti yang dipergunakan oleh Sammaria tergolong standar – tak jauh-jauh dari seret, lempar, atau suara misterius – yang apesnya tak juga memiliki cukup daya untuk membuat penonton mengkeret di bangku bioskop. Ada kalanya mencoba bermain-main dengan antisipasi yang sempat membuat jantung berdegup, tapi apa yang menanti kemudian nyatanya hanyalah sesuatu sepele yang memicu terlontarnya komentar, “yaelah gitu doang. Kirain apaan.” Bahkan, salah satu money shot di trailer dengan kata kunci “mamaku bukan mamaku” pun tersaji datar. Tak ada ketegangan yang muncul, apalagi rasa takut. Sammaria terang mengalami kesulitan dalam mengkreasi teror pemberi mimpi jelek yang bukan area kekuasaannya. Sesat benar-benar tersesat di ranah horor dan satu-satunya peluang yang tersisa bagi film untuk berjaya berada pada elemen dramatiknya yang (saya benci untuk menyampaikan ini!) sayangnya, tak juga cukup besar lengan berkuasa. Entah alasannya adalah ingin menghindari melodrama atau tak ingin sisi drama dalam film terasa lebih pekat, si pembuat film enggan mengeksplorasi plot terkait keluarga yang berdamai dengan murung secara layak dan lebih memilih untuk mengedepankan teror klise yang tak menyeramkan.
Hingga film berakhir, saya tak pernah bisa memahami alasan kepindahan keluarga Amara ke desa kecuali untuk mendekatkan mereka pada teror, tak pernah bisa mengerti kenapa Amara sangat membenci sang ibu begitu pula sebaliknya, dan tak pernah mampu pula mencicipi kepedihan dari masing-masing anggota keluarga akhir kehilangan figur ayah/suami. Hanya ada letupan kemarahan satu sama lain yang acapkali muncul tiba-datang yang menyebabkan aku semakin sulit bersimpati kepada huruf-aksara dengan penulisan tipis ini. Saking sulitnya untuk bersimpati, maka dikala Setan Beremanyan yang mitologi (dan penampakannya) hanya dimunculkan sekilas saja ini berusaha memporakporandakan keluarga kecil tersebut, tak ada kepedulian mengemuka. Andai saja si pembuat film berkenan untuk mengembangkan aksara-aksara kecil ini tanpa khawatir film menjadi kelewat drama lalu mempersilahkan mereka untuk mempunyai momen dramatis di babak titik puncak (entah rekonsiliasi atau perpisahan), saya meyakini Sesat akan sanggup memenuhi potensinya.
Acceptable (2,5/5)
Post a Comment for "Review : Sesat"