Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Rumput Tetangga


“Ketika kita tidak senang dengan apa yang kita lakukan, selalu tidak puas dengan apa yang kita dapatkan, kita akan cenderung menyakiti orang lain di sekitar kita.”

Jujur, saat pertama kali saya mengetahui jika Rumput Tetangga dihasilkan oleh RA Pictures yang merupakan rumah produksi milik Raffi Ahmad, tak ada sedikitpun ketertarikan untuk mengetahuinya lebih jauh. Belum apa-apa, diri ini sudah bersikap skeptis dan menaruh prasangka buruk. “Palingan film ini tidak jauh berbeda dengan produksi terdahulu” yaitu komentar yang kala itu meluncur dari lisan saya yang pedas. Bagi kalian yang tergolong rutin (atau minimal pernah) menyaksikan film-film keluaran mereka, tentu bisa mafhum mengapa saya bersikap demikian. Ada pengalaman traumatis tersendiri selepas menonton Rafathar (2017, masih mengaplikasikan nama RNR Pictures), kemudian Dimsum Martabak (2018) serta The Secret: Suster Ngesot Urban Legend (2018) yang sudah cukup membuat aku mengibarkan bendera putih buat merasakan koleksi horor lain keluaran RA Pictures. Alih-alih menikmati, aku justru dibentuk ngedumel, terkantuk-kantuk, hingga mengoleskan minyak angin biar mampu bertahan sampai penghujung durasi. Cobaannya sungguh berat, saudara-saudaraaaa…. (!). Saking kapoknya, aku nyaris tak melirik Rumput Tetangga sampai lalu menerima panggilan peran dari bapak atasan untuk meliput film ini. Cenderung ogah-ogahan pada mulanya, sikap suudzon ini mendadak luntur begitu membaca sinopsinya yang harus diakui sangat menggugah selera. Rumput Tetangga mengedepankan premis relatable bagi banyak orang berbunyi “bagaimana seandainya kamu mendapat kesempatan untuk menjalani kehidupan yang selama ini kamu impikan?” sekaligus menghantarkan pesan etika terkait mensyukuri hidup yang sedikit banyak melemparkan ingatan ini kepada It’s a Wondeful Life (1946), The Family Man (2000), dan Medley (2007).

Dalam Rumput Tetangga, karakter yang berkesempatan menjalani kehidupan berbeda yaitu seorang ibu rumah tangga berjulukan Kirana (Titi Kamal). Sepintas kemudian, Kirana memang terlihat mempunyai kehidupan yang baik-baik saja dan malah mampu dibilang bahagia. Dia menikahi kekasihnya sedari zaman Sekolah Menengan Atas, Ben (Raffi Ahmad), kemudian dikaruniai dua buah hati yang menyayanginya, dan meski belum bisa digolongkan sebagai masyarakat tajir, kondisi finansial keluarga kecil ini terhitung cukup. Kaprikornus, apa yang kurang dari hidupnya? Seperti insan pada umumnya, Kirana pun menginginkan kehidupan yang lebih baik dari apa yang telah dipunyainya. Dia ingin memiliki karir yang sukses sebagai konsultan humas mirip sahabatnya, Diana (Donita), dan tersimpan jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin sesekali menikmati hari tanpa harus direpotkan dengan tugas mengurus suami maupun anak alasannya Kirana merasa dirinya kurang becus di sektor domestik. Sebuah impian yang tanpa sadar dilontarkan oleh Kirana kepada seorang peramal yang ditemuinya saat reuni Sekolah Menengan Atas, Madam Sri Menyan (Asri Welas), yang datang-datang menawarinya sebuah kesempatan untuk mengubah hidupnya. Berhubung Kirana hanya menganggap ini sebagai permainan tarot belaka, maka dia pun tak pernah mengantisipasi keinginannya tersebut bakal benar-benar terwujud keesokan harinya. Secara tiba-tiba, beliau menjalani profesi sebagai konsultan humas yang diburu oleh sejumlah public figure tanah air, memiliki koleksi barang-barang glamor, senantiasa didampingi oleh ajun setianya, Indra (Gading Marten), dan tidak lagi memiliki ikatan dengan Ben. Untuk sesaat, Kirana mencicipi nikmatnya menjalani hidup sebagai sosok penting yang bebas dan bergelimang harta seperti Diana. Akan tetapi setelah beliau mendapati kenyataan bahwa kehidupan barunya ini bersifat kekal alih-alih sementara, perspektif Kirana mengenai makna kesuksesan dan kebahagiaan berangsur-angsur berubah.


Surprise, surprise. Siapa yang menduga kalau ternyata Rumput Tetangga bisa tersaji sebagai tontonan yang bisa dinikmati? Saya memang menaruh ketertarikan pada film ini usai menilik sinopsis beserta trailer, tapi itu tidak lantas menghapus sepenuhnya rasa skeptis. Masih ada kekhawatiran, daya tarik film hanya mencuat di bahan promosi tanpa pernah teresonansi ke hasil simpulan. Saat kemudian diri ini duduk anggun di dalam bioskop seraya menenggak minuman bersoda kemudian lampu bioskop perlahan dimatikan sebagai mengambarkan pemutaran film utama akan dilangsungkan, kegelisahan mulai muncul. Kegelisahan yang terus bertahan selama 30 menit pertama karena Rumput Tetangga seolah membuktikan bahwa ada kemungkinan film akan berakhir mirip produk-produk RA Pictures lainnya yang tampak menggiurkan diluar tapi ternyata jauh dari kata sedap begitu disantap. Beberapa faktor yang menimbulkan saya mengalami kesulitan untuk terhubung dengan film ini di paruh awal antara lain: 1) laju pengisahannya kelewat ngebut seperti Guntur Soeharjanto (Jilbab Traveler, Ayat-Ayat Cinta 2) sudah tak sabar membawa penonton ke konflik utama sehingga babak perkenalan terasa disusun seadanya saja, 2) banyolan-dagelan yang dilontarkan acapkali meleset dari target yang membuat sejumlah momen berakhir dingin, dan 3) Raffi Ahmad sebagai Ben bukanlah pilihan kasting yang bijak. Performanya tidak jelek, hanya saja chemistry yang dibentuknya bersama Titi Kamal tampak janggal dan beliau tidak mempunyai karisma yang mampu meyakinkan penonton jikalau sosok Ben dulunya pernah diperebutkan oleh Kirana dan Diana. Maksud aku, apa yang membuat sosok Ben begitu digilai oleh dua perempuan ini? Apakah sebab beliau humoris, baik hati, atau pekerja keras?

Saat saya sudah berkemas-kemas untuk menyambut datangnya kemungkinan terburuk, Rumput Tetangga justru mulai memperlihatkan greget terhitung sedari Kirana menjalani kehidupan barunya. Dari mulanya tampak diarahkan seperti komedi situasi yang menyoroti kecanggungan-kecanggungan Kirana dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaannya sebagai konsultan humas kelas kakap dan gaya hidupnya yang serba mewah, film ternyata beralih ke mode drama dengan cukup gesit semenjak Kirana mulai menganggap versi lain dari hidupnya ini sebagai kutukan. Hidupnya terasa kosong tanpa belaian mesra dari sang suami maupun tanpa pelukan hangat dari kedua anaknya. Kirana pun terseret ke jurang depresi, kemudian tanpa sadar melampiaskan segala bentuk kemarahan, kekecewaan, beserta ketidakberdayaannya kepada orang-orang di sekitarnya. Kirana berangsur-angsur berubah. Akting ciamik Titi Kamal (agak mengingatkan saya pada penampilan terbaiknya di Mendadak Dangdut yang sangat lepas) memungkinkan bagi penonton untuk bersimpati kepada Kirana. Kita melihat karakternya bertransformasi dari seseorang yang penyabar namun agak ceroboh, lalu terjebak dalam situasi abnormal yang membuatnya bak fish out of water yang konyol, kemudian mekanisme pertahanan dirinya memaksa dia menjadi sosok keji, sampai hasilnya tokoh ini kembali ke posisi semula tatkala dia menyadari bahwa mendapatkan kenyataan ialah solusi terbaik baginya untuk mendapatkan kembali rasa senang yang telah sirna. Melalui sosok Kirana inilah, si pembuat film mencoba menghantarkan pesan berbunyi “mensyukuri hidup ialah cara terbaik untuk memperoleh kebahagiaan” alasannya ada kalanya rumput tetangga yang terlihat lebih hijau hanyalah produk sintetis. Sebuah pesan sangat baik yang untungnya mampu tersampaikan dengan baik pula sekalipun Rumput Tetangga sendiri tak pernah benar-benar mulus dalam melantunkan penceritaannya. Lanjutkan dan tingkatkan, RA Pictures!

Acceptable (3/5)


Post a Comment for "Review : Rumput Tetangga"