Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Pocong The Origin


“Ananta itu punya ilmu banaspati. Dan jikalau tidak dikubur di tanah kelahirannya, yang mati itu bisa bangkit lagi, Pak.”

Trailer Pocong The Origin memang menarik. Sedikit banyak mengingatkan diri ini kepada film horor produksi Starvision terdahulu, Kafir (2018), yang lebih banyak mengandalkan atmosfer mengusik kenyamanan alih-alih parade jumpscares untuk menebar teror. Tapi bagi aku pribadi, bahan promosi tersebut bukanlah faktor utama yang melandasi ketertarikan untuk menonton Pocong The Origin. Saya baru benar-benar memilih pilihan setelah sang sutradara, Monty Tiwa (Keramat, Critical Eleven), membeberkan satu fakta besar dalam helatan gala premiere yang seketika menciptakan saya berseru “okay, I am sold!”. Fakta yang dibocorkan oleh Monty ialah… Pocong The Origin ternyata merupakan “reinkarnasi” dari film bertajuk Pocong (2006) garapan Rudi Soedjarwo! Sebagian dari kalian yang tidak familiar dengan judul ini mungkin bertanya-tanya, “apa sih yang membuatnya istimewa? Apakah ini adalah film horor yang sangat keren? Tapi kok saya tidak pernah mendengar judul ini?.” Satu hal yang perlu kalian ketahui adalah Pocong memang tak pernah mendapat izin dari Lembaga Sensor Film (LSF) untuk ditayangkan ke hadapan publik karena mengangkat info peristiwa 1998 yang dinilai sensitif. Sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan, Rudi beserta tim – termasuk Monty di sektor penulisan naskah – pun menetapkan untuk menggarap Pocong 2 (2006) yang kerap disebut-sebut sebagai film horor Indonesia paling angker. Saya pun mengakuinya dan aku juga tergelitik untuk mengetahui instalmen perdananya. Hmm… kira-kira seseram atau sesadis apakah film pertamanya kok hingga tak lolos sensor? Maka begitu Monty menetapkan untuk menceritakannya kembali dalam wujud Pocong The Origin dengan modifikasi disana-sini, saya pun tak kuasa membendung rasa penasaran.

Dalam Pocong The Origin, si pembuat film mula-mula mengenalkan penonton kepada Ananta (Surya Saputra) yang sedang menanti tibanya “hari penghakiman” berupa eksekusi mati. Melalui headline di surat kabar dan sejumlah jurnalis yang bergerombol di depan lapas, kita mengetahui bahwa Ananta adalah sesosok pembunuh berdarah hambar yang tak segan-segan membantai korbannya. Ada berapa jumlah pastinya, sayangnya penonton tak pernah memperoleh pembagian terstruktur mengenai memuaskan. Yang jelas, salah satu jurnalis, Jayanthi (Della Dartyan), menyimpan dendam kesumat kepada Ananta karena telah membuat sahabat beserta keluarganya meregang nyawa. Jayanthi berambisi mengungkap rahasia si pembunuh yang dicurigainya mempunyai relasi dengan ilmu banaspati. Disamping Ananta dan Jayanthi, kita turut dipertemukan dengan putri semata wayang Ananta, Sasthi (Nadya Arina), yang diminta oleh sipir penjara untuk menjemput mayat sang ayah selepas dihukum agar bisa dikebumikan secara layak di kampung halamannya. Guna menuntaskan “misi” ini, Sasthi yang memandang Ananta sebagai orang tua penyayang pun mesti menempuh perjalanan panjang didampingi oleh salah satu sipir, Yama (Samuel Rizal). Tentu saja, seperti bisa kita terka bersama, perjalanan mengubur jenazah tersebut tak berlangsung lancar alasannya gangguan-gangguan makhluk halus terus menghantui di setiap titik. Baik di warung, perkebunan teh, serta musholla, tak ada daerah aman bagi mereka berdua. Seolah teror dari para demit dirasa belum cukup mengganggu, Sasthi dan Yama juga harus menghadapi ocehan-ocehan menjengkelkan Jayanthi yang tak pernah lelah untuk menguntit mereka sampai ia memperoleh tanggapan konkrit mengenai rahasia yang disembunyikan oleh Ananta.


Seperti halnya The Curse of the Weeping Woman yang saya tonton pada hari yang sama, Pocong The Origin pun sejatinya dimulai secara meyakinkan dan memiliki satu dua momen pembangkit bulu kuduk. Saya menyukai bagaimana Monty membuat atmosfer menggelisahkan di penjara tatkala eksekusi Ananta tengah berlangsung dan penggunaan tembang “Di Bawah Sinar Bulan Purnama” turut memberi sentuhan mistis yang dibutuhkan oleh film. Untuk sesaat, aku pun sempat menduga jika aksara yang dimainkan dengan baik oleh Surya Saputra ini merupakan ancaman utama bagi aksara-aksara lain meski diri ini tak pernah benar-benar yakin. Mungkinkah ada sisi lain dari Ananta yang masih disembunyikan oleh si pembuat film? Dari gugatan Sasthi terhadap pernyataan-pernyataan sipir maupun Jayanthi (ugh, she’s so annoying!), saya rasa memang ada diam-diam yang coba disimpan oleh Monty demi memberi efek kejut dan menambat atensi penonton. Akan tetapi, apakah ini efektif? Berhubung film berusaha meyakinkan kita bahwa Ananta sangat menyayangi Sasthi begitu pula sebaliknya, keberadaan misteri justru menggerus elemen dramatik pemicu hadirnya momen-momen emosional karena kita tidak diberi banyak kesempatan untuk melongok ke interaksi bapak anak ini. Yang juga disayangkan dari sisi narasi yaitu Pocong The Origin meninggalkan banyak tanya khususnya terkait modus operandi Ananta yang membuat dia diburu banyak pihak, dibenci masyarakat, sampai dihabisi negara. Penonton hanya mendengar kekejamannya secara sayup-sayup dari beberapa huruf, tanpa pernah mampu dibuat memahami mengapa sosoknya dianggap sebagai musuh besar. Ini masih belum ditambah dengan minimnya penjelasan soal ilmu banaspati yang seharusnya menjadi bab krusial dari film. Dari sinilah, Pocong The Origin perlahan tapi pasti mulai kehilangan daya cengkramnya.

Ketimbang membeberkan diam-diam setapak demi setapak, Pocong The Origin justru menjejalkan semua-muanya di babak ketiga yang juga mengalun tergesa. Tak ada klarifikasi memuaskan, tak ada pula momen titik puncak menghentak di kala gerhana merah darah menyinari bumi. Selama film menyoroti perjalanan Sasthi-Rama dalam mengantar jenazah yang  berlangsung di puluhan menit sebelumnya, sang sutradara terlampau sibuk memikirkan trik menakut-nakuti yang dirasa cocok. Beberapa diantaranya memang terhitung efektif bikin nyali ciut mirip ketika Rama istirahat sejenak di warung mistik, ketika para huruf dihampiri demit pengusung keranda, dan tatkala Sasthi berhenti di SPBU (yang kemunculannya bikin heboh satu studio saking maksanya!) lalu melihat sesosok perempuan yang mengenakan mukena tengah duduk bersila di musholla. Tapi selain ketiga momen tersebut, Pocong The Origin bergerak dengan acuan pengisahan cenderung monoton terlebih lagi karena adanya repetisi dalam trik menggeber teror yang acapkali dimulai dengan: mobil ngadat atau Rama kebelet pipis di area yang jauh dari pemukiman warga, kemudian kedua aksara kebingungan mencari sinyal yang mendadak raib, dan kesudahannya makhluk halus pun mengambil kesempatan untuk mengusik keduanya. Walau rentetan teror terus menghadang para abjad, ironisnya si hantu sugus yang dipinjam namanya untuk judul justru tak banyak berkontribusi. Jangankan seseram kemunculannya di Keramat atau Pocong 2, doi yang lebih sering menggelinding disini alih-alih melompat bahkan tak menyumbang momen untuk dikenang (!).

Adanya pencahayaan yang terkadang terlalu gelap sampai-hingga aku tidak bisa memastikan apa yang sedang terjadi, sempilan humor yang sebagian besar berakhir “krik krik”, dan performa jajaran pemain yang tak memuaskan (medhok-nya Samuel Rizal mengganggu, begitu pula dengan Della Dartyan yang selalu berteriak-teriak) terperinci tak sedikitpun membantu Pocong The Origin untuk menjadi lebih baik. Maka begitu film mengakhiri durasinya, aku pun hanya bisa mengucap “sayang bangettt” dengan nada gregetan karena film ini sejatinya punya potensi besar untuk menjadi menu horor yang mencekam tapi urung terwujud akibat faktor-faktor yang telah saya jabarkan di atas.

Acceptable (2,5/5)


Post a Comment for "Review : Pocong The Origin"