Review : The Nun
“The abbey has a long history. Not all good.”
(Ulasan ini nyerempet spoiler)
Apakah kau masih ingat dengan sesosok iblis yang menampakkan wujudnya kepada insan dalam rupa mirip halnya seorang biarawati bernama Valak? Rasa-rasanya, jikalau dirimu yaitu penggemar berat cap dagang The Conjuring, sosok Valak cukup sulit untuk dienyahkan dari pikiran terlebih 'gaya berbusananya' tergolong khas (dan beliau punya lagu dangdut, "kamu seperti Valak..."). Kontribusinya terhadap narasi dalam franchise ini pun tak bisa dipandang sepele – berbeda dengan Annabelle yang cenderung pasif. Dia diketahui mempunyai niatan jahat untuk menundukkan pasangan Warren yang acapkali menggagalkan planning kawanan iblis untuk menguasai insan-insan berhati gelap, dan dia merupakan biang keladi dibalik kejadian supranatural yang menyerang satu keluarga dalam The Conjuring 2 (2016). You don't want to mess with Valak! Jika ada yang kurang mengenai sosoknya, maka itu ialah latar belakangnya yang kurang dieksplorasi. Apakah ini memang disengaja sehingga dia berkesempatan memiliki filmnya sendiri yang difungsikan sebagai origin story? Pastinya begitu. Annabelle saja dibikinin film, Valak juga mestinya punya dong. Terlebih, para petinggi studio tentu tidak ingin mesin pencetak uangnya ini diberhentikan begitu saja. Itulah kenapa tidak membutuhkan waktu lama bagi James Wan bersama Peter Safran selaku otak dibalik kesuksesan semesta The Conjuring untuk mengkreasi The Nun yang menyoroti kisah abad lampau dari iblis berkedok biarawati ini sebelum kelayapan di Inggris.
Dalam menggulirkan narasi The Nun, Corin Hardy (The Hallow) yang berpatokan pada skrip rekaan Gary Dauberman membawa kita melompat jauh ke Rumania pada tahun 1952. Di sana, kita dipertemukan dengan seorang pastur, Father Burke (Demian Bichir), dan seorang novis, Sister Irene (Taissa Farmiga), yang ditugaskan oleh Vatikan untuk menilik masalah bunuh diri seorang biarawati di Biara Carta. Biarawati tersebut ditemukan tewas dalam keadaan kepala tergantung di luar biara oleh seorang pengantar suplai masakan, Frenchie (Jonas Bloquet). Penugasan dari Vatikan ini membuat Father Burke bertanya-tanya, apakah benar ajal biarawati tersebut murni disebabkan oleh bunuh diri? Atau malah jangan-jangan, ada sesuatu yang jahat tersembunyi dibalik kematiannya? Kecurigaan Father Burke beserta Sister Irene bahwa ini bukanlah masalah biasa diperkuat oleh sambutan kurang hangat yang mereka terima di biara. Memang betul ada satu biarawati yang berkenan untuk bercerita panjang lebar mengenai sejarah biara yang ternyata menyimpan belakang layar kelam, tapi sebagian besar diantaranya memilih untuk bungkam. Mereka lebih memilih untuk merapalkan doa-doa keselamatan ketimbang membantu Sister Irene maupun Father Burke dalam mengusut akhir hayat rekan mereka yang disinyalir mempunyai keterkaitan dengan sejarah biara. Segala kecurigaan tersebut semakin bertumpuk tatkala keduanya mengalami pengalaman supranatural yang dipicu oleh kekuatan jahat yang menginginkan mereka untuk sesegera mungkin angkat kaki dari biara.
Sebuah desa di pedalaman Rumania yang sunyi, masalah bunuh diri seorang biarawati yang diselubungi misteri, dan biara dengan atmosfer creepy yakni setumpuk bahan yang terdengar menggiurkan untuk dipadupadankan bersama kisah awal mula si Valak. Berhubung saya secara langsung memiliki ketertarikan terhadap tontonan menakutkan yang mengandung unsur agama di dalamnya (khususnya Islam dan Kristen), apa yang ditawarkan oleh Corin Hardy dalam The Nun tentu saja menggoda kepercayaan. Adegan pembukanya yang menunjukkan dua biarawati menyusuri lorong (yang biar kelihatan angker nan bergaya mesti dihiasi asap buatan) menuju sebuah ruangan misterius yang berlanjut pada akhir hayat tragis keduanya pun mengisyaratkan bahwa The Nun akan menghadirkan mimpi jelek yang 'dibutuhkan' seperti dwilogi The Conjuring. Terlebih, ada bonus imaji mengusik kenyamanan berupa mayat yang hancur dipatoki burung gagak dalam adegan tersebut. Tapi setelah sederet eksposisi disana sini yang memberi alasan bagi dua protagonis utama untuk bertolak ke Rumania, film memperlihatkan gelagat kurang mengenakkan. Alih-alih mengemasnya sebagai wahana rumah berhantu murni mirip sederet judul lain dalam franchise ini, si pembuat film justru bereksperimen dengan memberi warna berbeda pada The Nun. Dia membubuhinya dengan elemen fantasi-petualangan bak The Mummy yang membuat Valak terlihat mirip monster dan mempersilahkan memedi lain mirip zombie ikut berpartisipasi ke dalam rangkaian teror untuk menyambut kedatangan Father Burke beserta Sister Irene.
Apabila Hardy secara konsisten mengambil jalur ini hingga durasi berakhir, bisa jadi The Nun mempunyai kesempatan untuk mengajak para penontonnya gila-gilaan meski konsekuensinya yaitu hujatan dari para purist. Akan tetapi, dia mengalami keragu-raguan untuk membawa franchise ini sepenuhnya keluar dari zona nyamannya dengan tetap mencampuradukannya bersama teror hantu konvensional ala The Conjuring sehingga hasil risikonya pun setengah matang. Kalau boleh memakai perumpaan ngaco, ini kasusnya seperti Nobita yang ingin berbuat jahat kepada dunia tetapi dia masih suka tidak enak hati dan hanya berbuat jahat kepada orang-orang tertentu saja (itupun perbuatan jahatnya lebih cocok dikategorikan iseng). Aneh. Konyol. Ora mashook blas. Dampak dari coba-coba tersebut ialah si pembuat film tidak bisa maksimal dalam mengkreasi teror hantu maupun menciptakan sajian petualangan berbumbu fantasi yang mengasyikkan. Bahkan, keduanya pun saling mendistraksi satu sama lain. Saya berharap mampu meringkuk ketakutan ketika para protagonis diterjang teror, eh diri ini malah berulang kali dibuat terkekeh karena eksekusinya yang janggal dan tak padu lantaran Hardy masih ngeyel buat menyatukan dua dunia (baca: horor dan fantasi). Terjatuh ke peti mati lalu voila tiba-datang menemukan buku pemberi balasan di samping pusara? Masih mampu, masih bisa. Biarawati yang berubah menjadi menjadi mayit hidup kemudian ditembak menggunakan shotgun? Saya mulai garuk-garuk kepala merasa film ini memang sebaiknya berada di ranah fantasi petualangan murni. Disembur menggunakan darah Yesus Kristus? Inilah di ketika aku tak tahan lagi untuk mengucap, “suka-suka kau lah!”.
Di periode kepala nyut-nyutan balasan sederet kekonyolan dalam film yang ironisnya terkadang lebih bisa ditertawakan ketimbang asupan humornya yang garingnya ngalahin ayam goreng kaepci, untungnya The Nun masih berbaik hati buat memperlihatkan obat pereda nyeri kepada penonton yang komposisinya terdiri dari sinematografi anggun yang beberapa tangkapan gambarnya boleh jadi suatu ketika bakal dicuplik oleh akun One Perfect Shot serta bisa menguarkan atmosfer gothic di beberapa titik, musik pengiring yang menciptakan nuansa ngeri-ngeri sedap, dan performa pemain yang terbilang apik. Ditengah malasnya naskah untuk menjlentrehkan lebih dalam kehidupan personal trio protagonis yang semestinya bisa memperbincangkan ihwal pergolakan kepercayaan ketiganya ditengah pertarungan melawan iblis – bahkan narasi dalam film pun sejatinya tak banyak membahas wacana Valak (!) – baik Demian Bichir, Taissa Farmiga, maupun Jonas Bloquet masih sanggup menawarkan nyawa terhadap karakter tipis yang mereka perankan. Berkat mereka, saya dapat bertahan menonton The Nun tanpa harus ngedumel soal huruf-aksara menyebalkan (yang minta diulek) seperti ketika menonton Slender Man tempo hari. Setidaknya, saya ikut berharap biar Father Burke, Sister Irene, dan Frenchie mampu mengalahkan kekuatan jahat yang menguasai biara lalu keluar dari sana dengan selamat. Bisa dibilang, mereka termasuk aset berharga bagi film horor yang nyaris tak menciptakan saya ketakutan ini.
Info layanan masyarakat : Tidak ada post-credits scene. Bubar, bubar.
Acceptable (2,5/5)
Post a Comment for "Review : The Nun"