Review : Mine
“My next step will be my last.”
Coba bayangkan dirimu berada dalam situasi semacam ini: tersesat di padang gurun tanpa membawa persediaan hidup mencukupi, lalu tanpa sengaja menginjak sesuatu yang besar kemungkinan adalah sebuah ranjau. Apa yang akan kau lakukan? Memutuskan berdiam diri sampai batas waktu tertentu seraya menunggu bala santunan yang mungkin saja tidak akan pernah tiba sebab lokasimu amat terpencil dan berada di sekitar area konflik atau nekat memutuskan untuk melangkah dengan resiko akan kehilangan anggota badan tertentu? Situasi ini, lalu pertanyaan-pertanyaan yang melanjutinya merupakan citra penceritaan secara garis besar dari film debut penyutradaraan duo Fabio Guaglione dan Fabio Resinaro (menggunakan nama panggung Fabio & Fabio), Mine, yang promonya mengisyaratkan akan berada di jalur survival thriller. Hanya saja, berbeda dengan film-film yang memiliki pokok dilema serupa mengenai bertahan hidup di alam liar semacam 127 Hours (2010), Buried (2010), sampai paling anyar The Shallows (2016), Mine tidak semata-mata berceloteh mengenai upaya sang protagonis untuk bertahan hidup. Si pembuat film turut sibuk menyisipinya dengan muatan filosofis yang membicarakan perihal bagaimana seharusnya menjalani kehidupan.
Karakter sentral dalam Mine yaitu seorang marinir asal Amerika Serikat bernama Mike Stevens (Armie Hammer). Bersama rekannya, Tommy Madison (Tom Cullen), Mike ditugaskan untuk menjalani misi di padang gurun yakni membunuh pemimpin dari sebuah kelompok ekstrimis di wilayah Afrika Utara. Pertentangan batin lantas menyergap Mike begitu mendapati bahwa targetnya tengah mengantarkan putranya ke tengah gurun guna menjalani prosesi pernikahan. Keragu-raguan untuk melesatkan tembakan berujung pada gagalnya misi yang membuat posisi keduanya terdesak. Guna melarikan diri dari kejaran antek-antek si sasaran dan menjumpai bala perlindungan yang konon akan dikirimkan ke desa terdekat, Mike dan Tommy pun melakoni perjalanan selama berjam-jam melintasi padang gurun. Perjalanan ini mengantarkan mereka menuju ke sebuah area yang ditanami ranjau darat. Mengabaikan peringatan alasannya menganggap ranjau telah berada di sana selama puluhan tahun dan tak lagi berfungsi, ada harga yang harus mereka bayar mahal. Tommy kehilangan kedua kakinya usai ranjau yang diinjaknya meledak seketika, sementara Mike yang sedikit lebih beruntung, harus bertahan di posisinya sampai batas waktu tertentu apabila tidak ingin ranjau di bawah kakinya meluluhlantakkan tubuhnya seperti terjadi pada rekannya.
Mesti diakui, Mine memulai langkah awalnya secara meyakinkan. Adegan menanti datangnya sang buron yang dilanjut kegamangan hati Mike antara ‘menembak atau tidak menembak’ dikonstruksi oleh Fabio & Fabio dengan tingkatan intensitas cukup tinggi dan laju penceritaan yang melesat cepat. Meski kita mengetahui ujungnya – well, kegagalan misi adalah pemantik munculnya rentetan konflik di film dan telah pula dijabarkan di sinopsis – tetap saja muncul sensasi berdebar-debar masa menanti keputusan Mike karena was-was pula kalau-jika eksistensi kedua marinir ini diketahui oleh musuh. Ketegangan yang terbangun dengan baik di adegan pembuka ini lantas berlanjut saat penonton digiring memasuki area penuh ranjau. Detik-detik jelang meledaknya ranjau pertama akan membuatmu mencengkram bersahabat bangku bioskop, begitu pula menit-menit selepasnya tatkala sang karakter sentral mencoba untuk beradaptasi dengan pijakan beserta ‘lingkungan barunya’. Hingga titik ini, Mine masih berada di lajur seperti tersirat dari materi promosinya: survival thriller. Kita melihat Mike berjibaku untuk menerima radio yang posisinya beberapa senti di depannya untuk menghubungi markas yang malah memberi balasan tak memuaskan, bertahan dari gempuran tornado pasir, hingga meminum air seninya sendiri akibat kehabisan stok air.
Seiring dengan hadirnya huruf lain tanpa nama (Clint Dyer) yang berasal dari desa sekitar, nada pengisahan Mine perlahan tapi niscaya mulai beralih. Kilasan-kilasan kala kemudian yang bercampur dengan halusinasi tiba silih berganti untuk mengenalkan kita pada sosok Mike. Dari sini, film berubah menjadi bak pedang bermata dua. Bagi penonton yang tidak keberatan mendengar lontaran obrolan filosofis untuk kemudian diajak berkontemplasi (keengganan Mike memindahkan kaki dari pijakannya yaitu metafora bagi ketidakberanian sang protagonis untuk mengambil resiko demi melanjutkan hidup), maka sisa durasi Mine tidak akan kesulitan mencuri perhatianmu. Namun jika pengharapanmu terhadap Mine yaitu film ini mengikuti pola pengisahan dari Buried atau The Shallows (which is, bukan sesuatu yang salah), sisa durasi dari film berlangsung kurang mengenakkan. Intensitas menurun drastis, laju mengalun pelan, dan kilasan periode lalu tidak cukup menjerat. Apabila ada jeratan, itu berasal dari performa gemilang yang dipersembahkan oleh Armie Hammer. Kita bisa mendeteksi kegamangannya, ketakutannya, hingga kemarahannya sehingga paling tidak kita peduli terhadap nasib abjad yang dimainkannya. Seandainya keadilan benar-benar ada di dunia ini, rasa-rasanya mudah bagi Armie Hammer untuk bertransformasi menjadi aktor besar dalam beberapa tahun ke depan mengingat talenta yang dipunyainya.
Exceeds Expectations (3,5/5)
Post a Comment for "Review : Mine"