Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Mekah I'm Coming


“Sayang itu boleh. Tapi kalau halu jangan maksimal.”

Sebagian dari kita mengenal pasangan layar perak Michelle Ziudith-Rizky Nazar melalui serentetan film drama romantis mendayu-dayu. Sebut saja Magic Hour (2015), ILY from 38.000 FT (2016), serta London Love Story 2 (2017) yang cukup bikin hamba mengalami migrain akibat jalinan pengisahannya yang luar biasa dramatis dan dialog-dialognya yang akan membuat Kahlil Gibran meratap di kuburnya. Lalu usai tak saling beradu kemesraan untuk beberapa dikala, keduanya dipasangkan lagi dalam Calon Bini (2019) yang diniatkan sebagai pembeda. Menjejakkan kaki di ranah komedi kultural – maksudnya, sedikit mengusung unsur kedaerahan – film tersebut memang terdengar segar… sampai lalu aku menyaksikan eksekusinya yang serba minimalis. Tak ubahnya FTV yang acapkali bersliweran di salah satu stasiun televisi lengkap dengan segala stereotip karakternya. Seketika, ingin rasanya diri ini menanges di bawah pancuran. Itulah mengapa ketika mereka dikabarkan akan dipertemukan kembali dalam Mekah I’m Coming (sebelumnya berjudul Haji Hoax), aku tak pribadi melirik. Ada sepercik keraguan hasil balasannya bakal menyerupai Calon Bini terlebih film ini pun menempatkan dirinya sebagai komedi kultural dengan latar Jawa (baca: Yogyakarta dan sekitarnya). Yang kemudian menciptakan saya lantas menoleh kemudian berubah pikiran, itu disebabkan oleh setidaknya tiga faktor: 1) trailer yang menggelitik, 2) nama-nama yang terlibat di belakang layar seperti Hanung Bramantyo selaku produser dan Jeihan Angga dalam debut penyutradaraan film panjangnya, serta 3) premis. Bukan sebatas jodoh-jodohan atau nikah-nikahan, Mekah I’m Coming turut mengemukakan informasi yang sempat santer di negeri ini terkait penipuan oleh distributor perjalanan umrah yang dikemas dalam bentuk hidangan satir penuh canda tawa. Menggugah selera, bukan?

Dalam Mekah I’m Coming, si korban ialah Eddy (Rizky Nazar) yang mendapat julukan “Mas Sontoloyo” dari warga di kampung halamannya lantaran tidak becus dalam menjalankan perjuangan bengkel yang dipunyainya. Meski mempunyai tampang rupawan dan seorang kekasih yang bagus berjulukan Eni (Michelle Ziudith), hubungan keduanya tidak serta berjalan mulus. Penyebabnya adalah ayah Eni, Pak Soleh (Totos Rasiti), keberatan dengan status sosial yang disandang oleh Eddy. Lebih-lebih, seorang saudagar kaya dari kota berjulukan Pietoyo (Dwi Sasono) telah mengajukan lamaran dengan iming-iming yang sulit ditolak. Alhasil, Eddy harus memutar otak untuk memenangkan hati sang calon mertua. Berdasarkan saran dari ibunya, Bu Ramah (Ria Irawan dalam peran terakhirnya), Eddy lantas menetapkan untuk berangkat haji dalam waktu bersahabat guna meningkatkan status sosialnya. Tapi satu hal yang protagonis kita urung ketahui, guna menerima kuota visa haji resmi, ia harus menunggu setidaknya selama 10 tahun. Waktu tunggu yang tentunya terlalu lama untuknya. Ditengah keputusasaannya, Eddy memperoleh gosip perihal biro perjalanan haji yang dapat memberangkatkannya ke tanah suci secepatnya yang seketika dipercayainya sekalipun dia harus merogoh kocek jauh lebih dalam. Eddy tak berpikir panjang sebab yang ada dipikirannya ketika itu hanyalah beliau mampu berhaji kemudian menikahi Eni, titik. Dilingkupi kebahagiaan meluap-luap, Eddy lantas bertolak ke Jakarta dimana dirinya gres menyadari jika telah ditipu besar-besaran. Tak ingin menanggung aib, Eddy lalu menetap untuk sesaat di ibukota bersama korban lainnya, Fajrul (Ephy Sekuriti), seraya berpura-pura telah berada di Mekah dengan mengirimkan dokumentasi palsu kepada sang kekasih dan keluarganya.


Jika hanya ada satu kata yang boleh dipinjam untuk mendeskripsikan Mekah I’m Coming, maka itu yakni “pecah!”. Serius, persembahan perdana dari Jeihan Angga (sebelumnya aktif menggarap film pendek) ini benar-benar menciptakan aku tertawa terpingkal-pingkal di sepanjang durasinya. Gaya bercandanya kreatif, cenderung nyeleneh, dan tak tanggung-tanggung dalam melampaui batasan yang bagi sejumlah penonton identik dengan istilah lebay. Kurang lebih mirip diaplikasikan oleh Stephen Chow dalam Shaolin Soccer (2001) atau Kung Fu Hustle (2004) lah. Tengok saja dari adegan pembukanya dimana Eddy mengendarai sebuah kendaraan beroda empat pick up guna mengarak haji gres yang dengan sangat cepat kegembiraan ini berkembang menjadi musibah lantaran rem blong. Kehebohan berwujud reaksi serba konyol dari para karakternya dalam menanggapi situasi, berakumulasi dalam satu ledakan besar bak dihujani bom atom yang tujuannya untuk memvisualisasikan mesin kendaraan beroda empat njeblug (baca: meletup). Sebuah introduksi yang memberi kita citra jelas mengenai apa yang akan dihidangkan oleh si pembuat film di sisa durasi. Dan memang, rangkaian banyolan yang mencuat selanjutnya kurang lebih senada antara satu dengan lain dimana kita turut menyaksikan sederet momen membekas semacam: 1) seorang ayah yang berkomunikasi dengan putrinya memakai suara hati, 2) montase gendeng menggelitik saraf tawa yang diiringi tembang “Cidro” milik Didi Kempot untuk menggambarkan kenelangsaan seorang laki-laki akibat patah hati, hingga 3) percakapan dari beberapa karakter inti di dua tebing berbeda yang dipisahkan oleh jurang hingga-hingga memanfaatkan jasa tukang sound system. Bentur kelakar yang rasa-rasanya belum pernah kita saksikan sebelumnya dalam sinema Indonesia modern.

Sensitivitas Jeihan dalam menangani comic timing ini memungkinkan sebagian besar elemen komedik di Mekah I’m Coming dapat tersampaikan dengan baik. Memang sih ada kalanya beberapa humor urung mengenai sasarannya dan hamba sempat pula mencicipi film agak goyah ketika latar penceritaan beralih dari pedesaan ke perkotaan. Tapi saat Eddy ketahuan telah berdusta kepada Eni demi menutupi problematikanya, pada titik itulah film kembali menemukan ritme pengisahannya dan penonton pun diajak menggila lagi. Jeihan mengondisikan supaya kita mendapati pengalaman menonton mengasyikkan dengan banyolannya yang di-gaspol sedari menit pembuka hingga menit penutup. Tak ada tangis penuh sedu sedan di sini seperti acapkali dijumpai dalam film-filmnya Michelle Ziudith-Rizky Nazar, dan malah ada suatu adegan dimana Michelle ditampakkan tengah bercucuran air mata tanpa suara. Tentu saja, adegan tersebut difungsikan sebagai pemicu gelak tawa bukan untuk bikin kita bersedu sedan. Duo pemain utamanya betul-betul ditantang untuk keluar dari zona nyaman mengingat peran mereka sama sekali tidak biasa. Baik Eddy maupun Eni yakni huruf aneh yang akan sesekali membuatmu nyeletuk, “kok ya ada sih manusia mirip ini?.” Hebatnya, Michelle terlihat luwes dalam ngelawak dimana beliau melepas urat malunya, begitu juga dengan Rizky yang mengesampingkan citra pemuda cool di sini. Keduanya mendapat sokongan dari jajaran pemain pendukung yang solid seperti Totos Rasiti sebagai kepala keluarga yang doyan main game “bercocok tanam”, Yusril Fahriza yang ngeselin sebagai Pardijon anteknya Pietoyo, Ephy Sekuriti yang terobsesi pada seorang selebgram, sampai mendiang Ria Irawan yang memberi sedikit kehangatan dalam kiprahnya sebagai ibu yang mencintai putra semata wayangnya. Tak ketinggalan, para pemain dengan peranan kurang penting (termasuk figuran) juga memberi sumbangsih tak kecil pada elemen komedik seperti saat seorang perempuan "ngemil" kurma ditengah situasi yang semestinya panas. 

Lakon apik dari barisan pemain beserta pengarahan cermat sang sutradara membantu naskah bakir rekaan Jeihan untuk tertuang secara layak ke dalam bahasa gambar. Meski ada dialog wacana perjodohan dan kebelet menikahi kekasih yang marak dijumpai di FTV (bahkan cukup mengingatkan ke Calon Bini), tapi bukan itu fokus utamanya. Mengikuti jejak sang mentor (baca: Hanung), Jeihan mengkreasi Mekah I’m Coming sebagai satir atas rentetan fenomena sosial di lingkungan sekitar yang sering dijumpa. Beragam masalah disentilnya termasuk soal popularitas Youtuber yang kian mengangkasa di kalangan wong cilik, hanya saja topik “haji” dijadikannya sebagai tema besar. Dari membicarakan insan-insan serakah dibalik distributor perjalanan haji abal-abal, film lantas tak segan-segan menyentil tentang haji sebagai status sosial yang mempengaruhi niatan sebagian pihak. Bukan lagi semata-mata beribadah di Mekah demi mengharap keridhaan Yang Maha Esa, melainkan didorong cita-cita untuk dipandang lebih tinggi derajatnya oleh masyarakat. Itulah mengapa di beberapa wilayah muncul tradisi selebrasi haji yang serba heboh mirip ditampilkan dalam film (yes, beneran ada lho arak-arakan mirip itu!), dan adanya ambisi mengejar status sosial pulalah yang melandasi alasan Eddy untuk berhaji. Dia hanya ingin menikahi sang kekasih yang orang tuanya sudah menyandang gelar Haji, alih-alih hendak menyempurnakan Rukun Islam. Sebuah niatan yang tentunya sudah salah kaprah sedari awal mula. Dalam melayangkan komentar-komentar ini, Jeihan mewujudkannya ke bentuk narasi dan obrolan yang mengalir alami nan jenaka tanpa pernah sekalipun terdengar menceramahi. Alhasil, saya pun sama sekali tak mengalami kesulitan dalam melahap Mekah I’m Coming yang mengajak kita membaca keadaan sosial masyarakat cukup umur ini secara riang tapi tetap kritis.

Sebuah film komedi yang sebaiknya tidak kau lewatkan begitu saja.

Outstanding (4/5)



Post a Comment for "Review : Mekah I'm Coming"