Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Meg


“Men versus Meg is not a fight, it's slaughter.” 

Bagi pemburu tontonan eskapisme, film terbaru yang dibintangi oleh Jason Statham, The Meg, terlihat memenuhi segala kualifikasi yang diharapkan untuk menjadi menu penghempas beban pikiran. Betapa tidak, film ini mengedepankan Jason Statham yang notabene pemain film adu seru-seruan di jajaran pemain utama, sederet promonya menjual The Meg sebagai perpaduan antara Jaws (1975) yang legendaris itu dengan Deep Blue Sea (1999) yang seru itu, dan premisnya menjanjikan kita sebuah pertarungan tak terlupakan antara manusia dengan hiu purbakala yang amit-amit gedenya. Sederet kombinasi yang sepertinya tak mungkin salah apabila ekspektasi kita dalam menyaksikannya di layar lebar telah diatur secara tepat, ialah memperoleh tontonan seru pengisi waktu senggang yang tidak memerlukan kinerja otak dan mempersilahkan para penontonnya untuk bernyaman-nyaman di bangku bioskop seraya mencemil berondong jagung. Saya pun memboyong ekspektasi senada ke gedung bioskop – bahkan jauh di dalam lubuk hati berharap film ini akan sereceh Sharknado (2013) – yang sayangnya itupun sulit dipenuhi oleh The Meg yang terasa kurang bergigi untuk ukuran sebuah film mengenai teror hiu ganas.
 
Karakter utama dalam The Meg yang garis besar ceritanya terinspirasi dari novel bertajuk Meg: A Novel of Deep Terror rekaan Steve Alten ini yaitu seorang penyelam bernama Jonas Taylor (Jason Statham). Di permulaan film, kita menyaksikan aksi Jonas beserta timnya dalam menyelamatkan sekelompok ilmuwan yang kapal selamnya mengalami kecelakaan di Palung Mariana, salah satu tempat paling mematikan di bumi. Awalnya sih, operasi ini berjalan sesuai dengan rencana, sampai kemudian mereka mendapat serangan brutal dari seekor makhluk misterius yang memaksa Jonas untuk meninggalkan rekan-rekannya demi menyelamatkan para ilmuwan. Keputusannya tersebut mendapat kecaman keras yang lantas mendorong Jonas untuk mengasingkan diri ke Thailand. Bertahun-tahun tak bersentuhan dengan misi penyelamatan, Jonas harus menghadapi ketakutannya kembali dikala beliau memperoleh panggilan tugas dari kemudahan riset bawah bahari, Mana One, di perairan lepas Tiongkok. Misi utama Jonas yakni mengangkut tiga ilmuwan, salah satunya yakni sang mantan istri, Lori (Jessica McNamee), yang terdampar di dasar samudra. Bukan sebuah misi yang mudah karena para ilmuwan ini hanya memiliki sedikit waktu untuk bertahan dan Jonas menerima kunjungan dari 'mitra lama' yang belakangan diketahui sebagai hiu putih berukuran 70 kaki, Megalodon. 


Menonton Jason Statham dan Megalodon saling beradu taktik bertahan hidup di layar lebar seharusnya menjadi pengalaman yang mengasyikkan. Seharusnya. Tapi ketika sang sutradara, Jon Turteltaub (National Treasure, The Sorcerer's Apprentice), menganggap bahwa pertandingan lintas spesies ini sebagai suatu 'fenomena' yang semestinya dianggap secara serius, maka kesempatan untuk memperoleh tontonan menghebohkan tahun ini seketika sirna. Well, tidak sepenuhnya sirna sih, alasannya The Meg masih berkenan untuk memenuhi satu undangan khalayak, yakni dikala babang Statham berkejar-kejaran dengan Meg di dalam laut dalam upayanya melenyapkan si penebar teror tersebut dari peradaban. Mesti diakui, ada sejumput ketegangan yang bisa terendus di sini begitu pula saat Meg berenang-renang kalem menuju pantai yang ramai. Hanya saja, untuk bisa mencapai titik ini yang hanya berjarak beberapa belas menit jelang end credit, ada perjalanan panjang yang mesti kamu tempuh. Perjalanan panjang yang dipenuhi dengan dialog-obrolan kurang menggairahkan nan menjemukan mengenai teknologi, permasalahan satu dua karakter inti, dan entah apa entah apa yang lantas menguap dari ingatan terhitung semenjak diri ini melangkahkan kaki ke luar bioskop. Kentara sekali, si pembuat film masih mengupayakan semoga filmnya ini tampak 'berisi' tanpa pernah menyadari bahwa materi cerita The Meg lebih memungkinkan untuk dikembangkan sebagai film horor komedi konyol-konyolan kolam Sharknado

Lagipula, siapa sih yang berharap mendapat narasi mengikat dari sebuah film mengenai hiu prasejarah berukuran jumbo? Kalau saya sih hanya ingin melihat Megalodon mengamuk, melahap manusia-insan keji, meremukkan kapal atau pesawat terbang, serta menebar kengerian pada pelancong yang sedang bersantai ria di pantai. Tidak lebih. Alih-alih mengarahkannya kesana, Turteltaub justru menentukan untuk bercakap-cakap tanpa ada signifikansinya dan kerap menunjukkan Megalodon dalam siluetnya saja dengan keinginan menciptakan rasa was-was pada penonton. Bukan pilihan yang buruk sebenarnya, mengingat The Shallows (2016) telah berhasil mengaplikasikannya. Akan tetapi, sebab ketidakpiawaian Turteltaub dalam mengatur tensi, ditambah lagi visualisasi si hiu yang tidak konsisten (kadangkala terlihat gede sekali, kadangkala terlihat hanya sedikit lebih besar dari Orca), pilihan ini terperinci tidaklah bijak lantaran berdampak pada mengendurnya ketertarikan secara perlahan tapi niscaya. Terkantuk-kantuk memasuki pertengahan durasi, The Meg lantas membaik ketika si hiu yang kurang angker ini tak lagi malu-malu menampakkan diri. Klimaksnya berlangsung dengan cukup seru, meski tidak cukup untuk membuat diri ini bersorak-sorak besar hati terlebih sesudah penantian panjangnya. Si pembuat film tak pernah benar-benar membiarkan 'peliharaannya' tersebut menggila bersama Statham sehingga The Meg pun berakhir sebagai sebuah film yang serba tanggung. Saya menyebutnya demikian alasannya film ini terlalu konyol untuk dianggap serius, dan di waktu bersamaan, film ini juga terlalu serius untuk dianggap konyol. Tang-gung.

Acceptable (2,5/5)


Post a Comment for "Review : The Meg"