Review : Let's Go, Jets!

“Ada beberapa hal yang tidak mampu kita ubah begitu saja. Tapi kita harus tetap berusaha.” 

Tidak banyak film dewasa/olahraga yang secara spesifik membicarakan usaha tim pemandu sorak Sekolah Menengan Atas. Keberadaan ekstrakurikuler ini dalam film remaja buatan Hollywood memang nyaris tak pernah luput dari radar, hanya saja fungsinya sebatas gimmick atau sekadar memanfaatkan satu dua anggotanya sebagai aksara berstereotip “wanita kejam”. Yang benar-benar peduli menyoroti jatuh bangunnya para cheerleader untuk mencetak prestasi dengan memenangkan kompetisi bisa dihitung dengan jari jemari, salah satu paling terkenal ialah Bring It On (2000) yang turut berjasa melambungkan karir Kirsten Dunst serta memiliki serentetan sekuel tak penting yang diterjunkan pribadi ke format home video. Meski Bring It On sendiri tak pernah lama menjadi bahan perbincangan di kalangan para penikmat film sampai sekarang, anehnya film bertema serupa masih sukar dijumpai. Setidaknya butuh lebih dari dua dekade untuk hasilnya mendapati sebuah film dengan cita rasa seperti. Yang tidak disangka-sangka, datangnya film termutakhir menyoal usaha tim pemandu sorak Sekolah Menengan Atas bukan berasal dari Amerika Serikat melainkan dari Jepang. Menggunakan tajuk internasional Let’s Go, Jets!, film kode Hayato Kawai ini didasarkan pada cerita aktual sebuah tim pemandu sorak dari Fukui Commercial High School yang berjaya dalam NDA National Championsip di negeri Paman Sam pada tahun 2009 hanya tiga tahun sehabis resmi dibuat. 

Tokoh utama dalam Let’s Go, Jets! yakni seorang siswi tingkat pertama di Fukui Chuo High School berjulukan Hikari Tomonaga (Suzu Hirose). Motivasi utama Hikari untuk bergabung ke dalam klub pemandu sorak Jets bantu-membantu sedangkal ingin menarik perhatian dari seorang pria yang kini bergabung dengan klub sepakbola, Kosuke Yamashita (Mackenyu). Namun planning awal Hikari seketika berubah tatkala mendapati instruktur gres klubnya, Kaoruko Saotome (Yuki Amami), mengaplikasikan hukum ketat mengenai larangan memiliki kekasih dan memutuskan sasaran ambisius untuk memenangkan sebuah kejuaraan tari pemandu sorak di Amerika Serikat. Mengingat klub ini baru saja mengalami transisi dari sebelumnya gimnastik memutar tongkat menuju tari pemandu sorak dan sebagian besar anggota anyarnya tidak mempunyai kemampuan dasar menari, tentu sasaran ini terkesan muluk-muluk. Tapi Kaoruko enggan begitu saja menyerah dan guna merealisasikan tujuannya, dia lantas meminta tiga anggota paling berbakat; Ayano (Ayami Nakajo), Yui (Hirona Yamazaki), dan Reika (Yurina Yanagi), untuk melatih anggota lain. Belum juga klub ini mampu berdiri dengan stabil, cobaan lain datang hasil dari kombinasi antara tekanan, ego, serta kekecewaan. Di tengah keterpurukan, Hikari yang digambarkan memiliki kemampuan andal soal membagi kebahagiaan, meminta uluran dukungan dari Ayano dan Yui demi mengembalikan kembali semangat anggota Jets yang tersisa untuk merengkuh harapan berjaya di Amerika Serikat.

Sejatinya, Let’s Go, Jets! tidak menunjukkan sesuatu yang baru untuk ranah film olahraga maupun coming of age. Pola penceritaan yang dianutnya pun masih tidak jauh-jauh dari ‘from zero to satria’ dengan fokus kisahnya berada di upaya sebuah klub pemandu sorak Sekolah Menengan Atas dari kota kecil yang kerap dipandang sebelah mata oleh sejumlah pihak – termasuk oleh anggotanya sendiri – dalam menerangkan kebenaran atas pernyataan ‘everything is possible’. Yang lalu menciptakan Let’s Go, Jets! terasa begitu enak buat dikudap, bahkan layak untuk disandingkan dengan Bring It On, adalah energi yang dibawanya. Hayato Kawai berhasil membentuk film arahannya ini menjadi salah satu film paling menyenangkan untuk ditonton pada tahun ini. Saat menyimak Let’s Go, Jets! di layar lebar beberapa waktu lalu, hati ini dibuatnya hangat dan bahagiaaaaa sekali. Sedari Hikari mengetahui jati diri sebenarnya dari klub Jets yang diikutinya, atensi telah tertambat. Muncul ketidaksabaran untuk mengetahui bagaimana proses yang mesti dilewati klub pecundang ini sampai sampai pada titik dimana mereka dielu-elukan bukan saja oleh seantero sekolah, tetapi juga seantero Jepang sekaligus disegani oleh lawan-lawannya di Amerika Serikat. Ya, kau telah mengetahui bagaimana film ini akan berakhir – cuplikan di awal film dan bahan sumbernya telah membocorkannya – namun itu sama sekali tak menjadi soal alasannya kenikmatan menyaksikan Let’s Go, Jets! tidak berada di tujuan tamat melainkan pada proses yang akan menginspirasimu. Proses yang juga menegaskan bahwa kesuksesan tidak diperoleh secara cuma-cuma. 

Karena kita diposisikan sebagai saksi dari sebuah klub yang berproses, koreografi tari yang merupakan salah satu daya tarik Bring It On tak terlampau ditonjolkan di sini. Hayato memilih mendayagunakan kuota durasi untuk melihat beberapa huruf sentralnya berkembang, khususnya Hikari yang mulanya meyakini dirinya tidak mempunyai talenta yang bisa membawa klub Jets memenangkan kompetisi dan Ayano sebagai pemimpin yang telaten memperhatikan perkembangan rekan-rekan satu timnya untuk bahan pembelajaran. Suzu Hirose dan Ayami Nakajo mampu menginterpretasi secara manis peran masing-masing, mengomando barisan pemain muda lain yang mengisi formasi anggota klub Jets, dan bersinergi mulus dengan Yuki Amami. Mereka terlihat gampang untuk disukai – chemistry diantara mereka pun berada di level jempolan – sehingga penonton tidak keberatan menawarkan santunan penuh kepada Jets. Dilantunkan memakai nada penceritaan yang ceria bahkan ada kalanya sangat komikal mirip dikala ‘instruktur dari neraka’ Kaoruko menggembleng habis murid-muridnya yang sebagian besar masih hijau, turut memudahkan kita mengikuti sepak terjang Jets. Begitu penonton dirasa telah jalin keakraban bersama para personil, sang sutradara lantas melepas sentakan berwujud momen emosional yang berfungsi dalam merekatkan ikatan antara penonton dengan Jets. Adanya ikatan satu sama lain mampu dibuktikan melalui titik puncak yang akan membuatmu beberapa kali menyeka air mata. Bukan karena murung, akan tetapi alasannya adalah kebanggaan, kebahagiaan dan kelegaan yang membuncah. Kita seperti seorang mitra yang bangga luar biasa saat melihat kerja keras sang teman kesannya menuai hasil. Bagus!

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1LvnC

Outstanding (4/5)

Location:

Share :