Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Keluarga Cemara


“Kalian semua itu tanggung jawab Abah!” 

“Kalau begitu, Abah tanggung jawab siapa?” 

Apabila kalian pernah merasakan euforia dunia pertelevisian tanah air pada kurun 1990-an, rasa-rasanya mustahil tidak mengetahui sinetron Keluarga Cemara yang disadur dari dongeng bersambung rekaan Arswendo Atmowiloto. Meski kelima karakter utama dalam sinetron ini digambarkan berada dalam kondisi finansial serba kekurangan – mata pencaharian mereka bergantung pada becak dan opak – si pembuat tidak mengeksploitasi kemiskinan mereka demi mengucurkan air mata penonton. Berbeda pula dengan sinetron masa kini yang topik obrolannya tidak jauh-jauh dari rebutan warisan, rebutan pasangan, sampai azab bagi orang-orang dzalim, Keluarga Cemara mengetengahkan topik aktual terkait menebar kebajikan kepada sesama, kerja keras serta mensyukuri hidup. Sebuah topik yang tidak dibatasi oleh agama, suku, jenis, kelamin, usia, maupun kelas sosial alasannya bersifat universal: semua orang bisa menerapkannya, semua orang mampu mengalaminya. Tak heran bila kemudian sinetron ini ramai dipirsa dan publik masih setia menyenandungkan lagu temanya yang belahan liriknya berbunyi, “harta yang paling berharga adalah keluarga…” sampai sekarang. Saking legendarisnya (dan besar pula pengaruhnya) sinetron yang memasangkan Adi Kurdi dengan Novia Kolopaking tersebut, rumah produksi Visinema Pictures (Surat Dari Praha, Cahaya Dari Timur Beta Maluku) pun tertarik untuk menginterpretasikannya ulang. Bukan lagi dalam bentuk sinetron mirip versi terdahulu, melainkan dalam format film layar lebar dengan jajaran pemain yang sama sekali baru. 

Guliran penceritaan yang diaplikasikan dalam versi bioskop Keluarga Cemara isyarat Yandy Laurens (debut film panjang, sebelumnya ia menggarap film pendek Wan An yang meraih Piala Citra) juga agak berbeda dibanding versi sinetron. Disamping interpretasi gres, ini mampu dibilang sebagai prekuel karena narasi menyoroti awal mula para protagonis dalam menjalani hidup penuh dengan kesederhanaan. Abah (Ringgo Agus Rahman) tidak tiba-tiba diceritakan mengayuh becak yang sekali ini diganti ojek online dan Euis (Zara JKT48) tidak pula datang-tiba berjualan opak. Mereka mulanya ialah keluarga milenial yang tinggal di perumahan glamor dengan mobil cantik dan kondisi finansial mapan. Namun setelah Abah dinyatakan bangkrut akibat perkara penipuan yang dilakukan oleh saudara beserta rekan bisnisnya sendiri, kehidupan Abah beserta keluarga kecilnya seketika berubah drastis. Abah mengajak istri, Emak (Nirina Zubir), beserta kedua putrinya, Euis dan Ara (Widuri Puteri), untuk pindah ke rumah peninggalan orang tuanya di sebuah desa terpencil di Kabupaten Bogor. Saking terpencilnya, mereka hingga harus memanjat pohon seberang rumah buat menerima sinyal hp. Luar biasa, bukan? Beradaptasi dengan lingkungan dan gaya hidup yang sama sekali berbeda ini terperinci tidak gampang bagi setiap personel keluarga, khususnya bagi Abah yang merasa harus memikul tanggung jawab keluarga seorang diri dan Euis yang sedang berada dalam fase pubertas. Alhasil, konflik demi konflik pun tak terhindarkan yang alih-alih mengancam keutuhan keluarga, rangkaian konflik ini justru semakin memperkuat korelasi mereka dan memberi pemahaman gres kepada mereka mengenai arti sesungguhnya dari keluarga.


Usai menyaksikan Keluarga Cemara di bioskop, ada satu perasaan yang terus hinggap di hati adalah hangat. Tak terhitung berapa kali saya menyeka bulir-bulir air mata yang menuruni pipi, memberi pelukan bersahabat-dekat kepada diri sendiri, sampai muncul dorongan untuk sesegera mungkin menelpon orang tua di rumah ketika menonton Keluarga Cemara yang merupakan salah satu film Indonesia terindah yang pernah aku tonton ini. Deskripsi yang mungkin terdengar agak hiperbolis, tapi sejujurnya, ini benar-benar terjadi. Bahkan, saya masih mendapatkan pengalaman tersebut pada tontonan kedua (pertama kali menonton di Jogja-NETPAC Asian Film Festival)! Sebuah pengalaman yang jarang aku dapati apalagi untuk film drama keluarga dalam negeri yang umumnya bermain-main di ranah disease porn atau poverty porn. Dalam penanganan yang keliru – itu berarti, si pembuat film gagal menangkap ruh dari materi sumbernya – maka apa yang disajikan oleh film sangat riskan untuk terjerembab menjadi tontonan cengeng tipikal. Sekadar mengeksploitasi derita dan nestapa yang dialami oleh para karakternya hanya untuk membuat para penontonnya terisak-isak. Akan tetapi, mengikuti jejak versi sinetron yang sekarang sedang ditayangkan ulang di jalan masuk TVRI, Keluarga Cemara versi layar lebar bukan tipe film yang jualan air mata. Malah, film mencoba tampil berenergi dengan segala humor yang ciptakan gelak tawa serta adanya pesan penumbuh semangat yang sekaligus berfungsi menghilangkan stereotip terhadap kemiskinan: miskin bukan berarti final dari hidup, miskin bukan berarti tak bisa bahagia, dan miskin bukan berarti memberi alasan untuk bertindak melawan hukum. Semuanya tergantung perspektif serta bagaimana cara kita menyikapinya, wahai sobat misqueen! 

Pada saat bersamaan, Keluarga Cemara juga mengajak penonton memaknai istilah ‘keluarga ideal’ yang ternyata tak bersinonim bersahabat dengan kesempurnaan. Narasi gubahan Yandy Laurens beserta Gina S. Noer membawa kita pada pemahaman bahwa ideal tidak lantas mempunyai harta serba berkecukupan sekaligus terhindar dari segala perbedaan pendapat maupun ukiran-tabrakan. Melalui sosok Abah, Emak, Euis, dan Ara, keluarga ideal dideskripsikan sebagai sekelompok orang (yang diikatkan oleh tali pernikahan beserta relasi darah) yang bersedia untuk saling mendengarkan, saling memahami, serta saling membantu untuk menemukan solusi di ketika konflik mengemuka. Keputusan akhir boleh saja berada di tangan kepala keluarga, tapi anggota keluarga lain turut dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Berat, ya? Dalam kenyataan di film, tentu tidak serumit itu terlebih sasaran utama film ini adalah seluruh anggota keluarga. Hanya saja, saya tertarik terhadap pembentukan abjad dalam Keluarga Cemara yang kokoh sehingga memungkinkan mereka tidak saja tampak manusiawi tetapi juga bisa memberi penonton pembelajaran atas tindakan-tindakan mereka. Sebagai acuan, kita berguru untuk mengutamakan komunikasi dengan seluruh anggota keluarga dari sosok Abah, kita belajar untuk memahami kondisi orang lain dari sosok Emak, kita belajar untuk tak mementingkan diri sendiri (maupun emosi) dari sosok Euis, dan kita juga belajar untuk memandang segala hal dari sudut pandang faktual dari sosok Ara. Dari sini, kita risikonya mampu memafhumi mengapa Abah mampu menjadi sangat bijaksana atau Euis bisa tumbuh menjadi seseorang yang sangat bertanggung jawab di versi sinetron.


Kesanggupan penonton untuk mencerna pesan yang dihantarkan lalu terlibat secara emosi ke dalam film ini dipengaruhi oleh apiknya performa jajaran pemain. Tak ada satupun pelakon yang bermain jelek, tak ada satupun pelakon yang tersia-siakan di sini. Ringgo Agus Rahman seketika menggugurkan perilaku skeptis publik lewat interpretasi mencengangkannya sebagai Abah yang sekali ini ditampilkan berhati budiman tapi masih menyimpan banyak kemarahan dan kekecewaan alasannya adalah ketidaksanggupannya menerima kenyataan. Kita bisa berempati kepadanya yang rapuh, kita bisa pula berempati pada Emak yang diperagakan dengan sangat anggun oleh Nirina Zubir. Terasa keteduhan dan kehangatan seorang ibu yang berupaya menjaga keseimbangan ‘kapal’ berjulukan keluarga semoga tidak tenggelam saat diterpa badai. Hati terasa maknyes dikala dia berdialog dengan Euis mengenai menstruasi, hati terasa patah saat ia memberi tatapan kecewa pada Euis yang membangkang. Kedua pemain senior ini membentuk tim yang solid bersama dua pemain muda yang memberi impian bagi perfilman Indonesia, Zara JKT48 dan Widuri Puteri. Ditangan Zara, aksara Euis mulanya tampak menyebalkan karena terkesan egois. Tapi kemudian kita dibentuk menyadari bahwa kondisi yang dihadapinya tidaklah mudah terlebih jiwa mudanya masih bergejolak. Zara menawarkan transformasi pendewasaan diri secara meyakinkan dari sampaumur milenial yang cenderung banyak mau menjadi lebih simpatik saat ia bersedia berdamai dengan fakta bahwa kondisi keluarganya tidak lagi sama. Akting bagusnya menciptakan momen “selamat ulang tahun, Euis…” menjadi salah satu momen paling dikenang di film selain pertengkaran ahli di kamar dimana respon “jikalau begitu, Abah tanggung jawab siapa?” mengakibatkan manusia-manusia berhati acuh taacuh pun akan bercucuran air mata ketika mendengarnya. 

Sebagai penyeimbang abjad Euis yang serius, ada Ara yang dimainkan dengan sangat natural oleh Widuri Puteri. Kemunculannya senantiasa menggemaskan dan dia tak pernah gagal memantik gelak tawa penonton melalui perilaku atau komentar-komentar polosnya. Sosok Ara inilah yang menciptakan Keluarga Cemara terhindar dari nada penceritaan yang bermuram durja, disamping keberadaan Abdurrahman Arif sebagai sahabat baik Abah, Asri Welas sebagai ‘wanita perlindungan’ yang akrab dengan Emak, serta beberapa pemain dewasa seperti Kafin Sulthan, Joshia Frederico, Kawai Labiba, serta Yasamin Jasem sebagai mitra-mitra gres Euis. Deretan aksara ini bukanlah comic relief tempelan yang mampu dihapuskan begitu saja karena ada maksud beserta tujuan dibalik kehadiran mereka termasuk menyangkut momen-momen genting dalam film. Berkat mereka, penonton dapat tertawa tergelak-gelak sesudah sebelumnya menyeka air mata. Air mata yang acapkali mengalir alasannya adalah terharu menyaksikan interaksi hangat para aksara, alih-alih alasannya adalah kesedihan. Pada karenanya, bukan hanya bantuan para pemain yang mampu membawa emosi dalam Keluarga Cemara semenonjok ini, melainkan juga dipengaruhi naskah bernas, pengarahan penuh sensitivitas dari Yandy Laurens, pilihan-pilihan lagu pengiring yang menyatu, beserta penyuntingan mengalir dari Hendra Adhi Susanto. Buagus sekali!

Outstanding (5/5)


Post a Comment for "Review : Keluarga Cemara"