Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Jomblo (2017)


“Waktu dapat menghapus luka di hati, tapi kenangan anggun akan selalu membekas di hati.” 

Jomblo garapan Hanung Bramantyo yang didasarkan pada novel laku berjudul sama rekaan Adhitya Mulya dan dirilis pada tahun 2006 silam merupakan salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. Tiga elemen utama penyusun film yang terdiri atas komedi, romansa, dan persahabatan bisa berpadu dengan sangat baik pula mulus. Siapapun yang pernah mengalami fase dibuat kesengsem oleh lawan jenis, kemudian jatuh berdiri dalam memperjuangkan cinta, ditolak seseorang yang telah usang didambakan, serta menjalin hubungan dekat bersama mitra-kawan yang setia mendampingi di abad susah dan bahagia, akan mudah untuk terhubung ke jalinan pengisahan yang digulirkan oleh Jomblo. Ditambah lagi, Jomblo versi 2006 mempunyai empat pelakon inti dengan chemistry ciamik; Ringgo Agus Rahman (dalam film perdananya), Christian Sugiono, Dennis Adhiswara, dan Rizky Hanggono, yang mampu meyakinkan penonton bahwa mereka memang erat erat satu sama lain. Bisa dibilang nyaris tepat di aneka macam lini – film pun mampu mempermainkan emosi penonton sedemikian rupa – maka agak mengherankan tatkala Falcon Pictures menetapkan untuk menginterpretasi kembali goresan pena Adhitya Mulya ke format film layar lebar hanya dalam rentang waktu satu dekade saja. Maksud aku, bukankah seorang bijak pernah berujar, “if it ain’t broke, don’t fix it”

Dalam Jomblo versi 2017, tidak ada perubahan berarti pada konfigurasi huruf utama. Keempat teman yang menggulirkan roda penceritaan masihlah Agus (Ge Pamungkas), Bimo (Arie Kriting), Olip (Deva Mahenra), dan Doni (Richard Kyle). Persahabatan empat mahasiswa di Universitas B ini dipertautkan oleh kesamaan nasib adalah sama-sama menyandang status sebagai jomblo meski dengan alasan berbeda-beda. Agus cenderung pemilih karena mencari wanita yang dapat diajaknya membina rumah tangga ideal, kemudian Bimo kerap mengalami penolakan dari perempuan yang ditaksirnya, lalu Olip tidak memiliki keberanian dalam menyatakan perasaannya kepada Asri (Aurellie Moeremans) yang telah membuatnya jatuh cinta sedari tahun pertama, sementara Doni yang memiliki ketampanan paripurna justru enggan untuk berkomitmen dan hanya memanfaatkan para perempuan demi memenuhi hasratnya semata. Persahabatan diantara empat jomblo-jomblo bahagia ini (jojoba) mulanya baik-baik saja sampai lalu kehadiran sosok Rita (Natasha Rizky), Lani (Indah Permatasari), serta Asri di tengah-tengah kehidupan mereka mulai mengacaukan segalanya. Hubungan pertemanan yang telah dipupuk dengan baik selama bertahun-tahun terancam bubar jalan begitu saja balasan masalah asmara.


Sulit untuk tidak membanding-bandingkan Jomblo versi anyar yang tetap ditangani oleh Hanung Bramantyo ini dengan versi terdahulu mengingat rilisan 2006 mempunyai kualitas penggarapan diatas rata-rata dan setiap adegannya pun masih melekat dekat di ingatan sampai sekarang. Satu pertanyaan kemudian terlontar, “mungkinkah si pembuat film mampu melampaui pencapaian dari rilisan sebelumnya?.” Pertanyaan tersebut coba dijawab oleh Hanung dengan menghadirkan warna berbeda ke versi 2017. Jika versi 2006 cenderung lebih santai dalam bertutur dan banyak memberi ruang pada kisah persahabatannya, maka sekali ini aspek komedi lebih ditekankan dengan ritme penceritaan yang cenderung upbeat mengikuti barisan lagu beraliran EDM yang mengiringinya. Disamping itu, Agus yang masih bertindak selaku narator turut kebagian jatah tampil lebih banyak dari sebelumnya dengan pertimbangan dongeng percintaan njelimetnya bersama Rita dan Lani memiliki potensi terbesar dalam memicu tawa sekaligus gampang bagi generasi muda kini untuk terhubung kepadanya. Imbas dari keputusan ini, konflik asmara yang dihadapi Bimo-Olip-Doni tidak pernah tergali secara mendalam dan plot mengenai persahabatan empat sekawan jojoba yang sejatinya merupakan kekuatan utama dari Jomblo terpaksa dikesampingkan. Dari sini saja sudah terjawab bahwa Jomblo versi 2017 tidak lebih baik ketimbang versi terdahulu.

Kalau ditanya menghibur atau tidak, Jomblo masihlah cukup menghibur. Beberapa kali diri ini dibentuk tertawa melihat kekerabatan Agus dengan Rita yang tidak sesuai ekspektasi, walau aku sendiri merasa cukup terganggu karena peralihan nada relasi dua sejoli ini terlampau cepat serta ujug-ujug. Adegan Rita murka-murka kepada Agus di bar sebab sang kekasih tidak berhasil memberi balasan memuaskan wacana proporsi tubuhnya itu terasa sangat dipaksakan. Setidaknya dalam versi terdahulu, saya bisa mengetahui darimana munculnya pertanyaan jebakan tersebut dan perilaku Rita yang sangat menyebalkan. Bertahap, tidak sekonyong-konyong terlontar. Jomblo versi anyar ini terasa kurang halus dalam melantunkan penceritaannya, terkadang terburu-buru terkadang berlarut-larut, yang menimbulkan sejumlah konflik tidak memiliki impak benar-benar besar lengan berkuasa dan barisan leluconnya pun menyerupai kumpulan skema. Alhasil, sekalipun Jomblo masih sanggup memancing tawa di beberapa bagiannya, film cukup mengalami kesulitan dalam menggoreskan kesan di hati lantaran minimnya emosi yang berhasil diinjeksikan ke dalam penceritaan. Disamping pengarahan dan naskah, faktor lain yang menimbulkan Jomblo terasa masbodoh ialah jajaran pemainnya. 

Ge, Arie, serta Deva bermain baik saat berlakon secara terpisah, tetapi ketika disatukan, chemistry-nya mengawang-awang di udara. Saya mampu meyakini bahwa mereka yakni sahabat sekampus yang memiliki korelasi baik, tetapi saya tidak bisa meyakini bahwa mereka yakni sobat sekampus yang mempunyai ikatan persahabatan sangat dekat. Itulah mengapa ketika muncul pertengkaran besar yang berpotensi memecah belah keempatnya, aku tidak mampu mencicipi apapun. Berlalu begitu saja.

Acceptable (2,5/5)



Post a Comment for "Review : Jomblo (2017)"