Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : John Wick: Chapter 3 - Parabellum


“If you want peace, prepare for war.”

Saat menonton John Wick untuk pertama kali di tahun 2014, aku tak menyangka sama sekali judul ini akan bertransformasi menjadi salah satu franchise tubruk yang instalmen terbarunya selalu dinanti-nanti kehadirannya. Memang benar jilid pertamanya terhidang memuaskan yang sedikit banyak melontarkan ingatan kepada dwilogi The Raid yang sangat gahar dalam urusan koreografi langgar. Saya pun tak keberatan menyebutnya sebagai film sabung yang tak sepatutnya dilewatkan begitu saja lantaran sudah teramat jarang mendapati spektakel seru semacam ini dikeluarkan oleh Hollywood. Tapi berubah menjadi franchise, itu sesuatu hal berbeda meski saya jelas sama sekali tidak keberatan. Disamping judul ini terbilang handal dalam memacu adrenalin penonton berkat sajian utamanya yang menyajikan baku hantam maupun gun-fu bertegangan tinggi, Chad Stahelski selaku sutradara dan Derek Kolstad selaku penulis skrip juga mengkreasi semesta penceritaan yang menarik untuk diikuti. Kita mengetahui sekelumit mitologinya di film pertama, kemudian kita diberi penjabaran lebih mendalam mengenai world building melalui jilid kedua. Dari sana, saya menyadari bahwa dunia kriminal yang ditekuni oleh sang aksara tituler ternyata tidak sesederhana kelihatannya. Ada hirarki di dalamnya, ada aturan-hukum sangat jelas yang wajib ditaati, serta ada pula “kompetisi berburu antar pembunuh bayaran”. Terdengar menggugah selera, bukan? Itulah mengapa dikala penghujung film kedua memberi petunjuk mengenai eksistensi semesta yang lebih luas, saya tak kuasa menantikan kemunculan instalmen ketiga sebab selalu dibayang-bayangi oleh keingintahuan terhadap nasib John Wick (Keanu Reeves) pasca ia memutuskan untuk membangkang dari peraturan yang telah ditetapkan oleh kaum elit.

John Wick: Chapter 3 – Parabellum (supaya lebih ringkas, selanjutnya disebut Parabellum) memulai penceritaan sempurna seusai jilid kedua berakhir. John Wick yang melalukan pembunuhan di area terlarang seketika dinyatakan sebagai buronan dengan status “excommunicado” oleh pemegang kekuasaan di dunia bawah tanah yang ditekuninya, High Table. Berkat status yang disandangnya tersebut, John Wick tak lagi mempunyai tempat untuk bersembunyi lantaran setiap pembunuh bayaran di muka bumi mengharapkan nyawanya demi memperoleh upah sebesar $14 juta, dan mereka yang mengulurkan tunjangan kepadanya akan diberi sanksi alasannya adalah dianggap membelot terhadap High Table. Bagi pembunuh bayaran kelas teri, memperoleh status semacam ini jelas final dari segalanya. Tapi bagi John Wick yang dianggap sebagai salah satu legenda hidup, selalu ada jalan untuk membalikkan keadaan. Kemampuan bertarungnya berada di atas rata-rata rekan sejawatnya dan dia masih pula mempunyai sejumlah pihak yang mampu diandalkan sekalipun sebagian diantaranya terpaksa memenuhi tuntutannya agar mampu terlepas dari “sumpah balas budi”. Ditengah-tengah pelarian John Wick yang lantas membawanya menemui kawan lama, Sofia (Halle Berry), serta menembus panasnya gurun pasir di Maroko, beberapa sahabat baik yang telah membantunya harus menghadapi konsekuensi atas pilihan mereka. Seorang Ajudikator (Asia Kate Dillon) diturunkan oleh High Table untuk melayangkan hukuman kepada Raja Bowery (Laurence Fishburne), Direktur (Anjelica Huston), serta Winston (Ian McShane). Disamping menemui para pembelot, Ajudikator turut menjalankan peran lain yakni merekrut pembunuh bayaran bernama Zero (Mark Dacascos) berikut anak buahnya guna menghentikan langkah John Wick.


Disandingkan dengan dua jilid pendahulunya, Parabellum sejatinya tak terlalu menggigit dari sisi narasi. Tak banyak informasi gres yang digeber sekali ini alasannya adalah si pembuat film menempatkan jalinan pengisahan dari instalmen ketiga sebagai bentuk penegasan dari apa yang telah diungkap sebelumnya sekaligus penjembatan menuju seri-seri berikutnya. Satu dua hal gres yang mampu kita peroleh di sini berkaitan dengan kemunculan beserta signifikansi Ajudikator terhadap kasus John Wick, seberapa berpengaruhnya posisi High Table dalam dunia pembunuh bayaran, hingga gambaran perburuan ketika seseorang mendapatkan status “excommunicado”. Alih-alih memberi perhatian pada penggalian world building yang mungkin saja sudah tidak banyak gosip tersisa atau sengaja disimpan demi memberi efek kejut di babak selanjutnya, Stahelski beserta Kolstad cenderung fokus ke elemen gebuk-gebuk maupun tembak-tembak. Sebuah pilihan yang tentu saja mampu dimafhumi mengingat tata adu memang menjadi jualan utama dari franchise ini  dan Parabellum memulai penceritaan dari misi berburu John Wick. Alhasil, selama durasi merentang, penonton disuguhi oleh upaya si huruf tituler dalam menyelamatkan sekaligus membebaskan dirinya dari kejaran rekan-rekan sejawatnya yang mencoba menawarkan kesetiaan mereka kepada High Table. Dalam penanganan sutradara yang kurang kompeten, materi jualan semacam ini beresiko menghadirkan kejenuhan terlebih durasinya pun tergolong panjang (130 menit lho, guys!), tapi kita sudah sama-sama tahu, Stahelski yang mempunyai latar belakang sebagai stuntman terbukti handal dalam menangani tata tabrak di dua seri terdahulu dan Parabellum pun bukan suatu pengecualian. Malah mampu dibilang, Parabellum menghadirkan sabung tergila di franchise ini.

Saat menonton rangkaian seri John Wick di layar lebar, memang tak ada ekspektasi yang lebih tepat selain mendamba kegilaan pertarungan. Apabila pengharapan itu yang kamu sematkan tatkala menebus tiket Parabellum, maka kepuasan yaitu sensasi rasa yang paling mungkin kamu peroleh selepas menonton. Betapa tidak, sejak menit pembuka yang menyoroti pada pelarian John Wick di tengah hujan deras yang menggur kota New York sampai babak pamungkas yang sekali lagi akan mengusik kepenasaranmu mengenai kelanjutan seri ini, Stahelski nyaris tak memperlihatkan ruang bagi penonton untuk menghela nafas. Rumus yang diterapkannya untuk Parabellum kira-kira seperti ini: hajar-hajar-hajar + gun fu-gun fu-gun fu + retakkan bagian badan tertentu. Terdengar melelahkan? Tenang saja, Stahelski tak pernah kekurangan pandangan baru untuk menciptakan setiap pertarungan mempunyai daya hentaknya masing-masing. Baik dalam skala kecil maupun set piece yang menuntutmu supaya tak memalingkan pandangan dari layar walau hanya sebentar. Tengok saja pada adegan perkelahian di menit-menit awal dimana si pembuat film menawarkan penghormatan terhadap “pensil mematikan”. Entah dengan kalian, saya sih tidak menyangka benda tersebut mampu menjadi alat bunuh yang efektif (!). Diri ini sungguh terkedjoet sebelum akhirnya melenguh dan bertepuk tangan mirip halnya penonton lain yang kerap bergemuruh dalam menyikapi pertarungan demi pertarungan yang harus dihadapi oleh John Wick. Seru euy! Sedikit kekecewaan yang tadinya menghinggapi ketika menyadari narasi film tak banyak bergerak seketika dihempaskan begitu menyaksikan rentetan laga beroktan tinggi yang tidak saja membangkitkan semangat dan bikin berdebar-debar di waktu bersamaan, tetapi juga mengundang gelak tawa berkat sisipan humornya yang tepat target. Dan omong-omong, sudahkah saya bilang jika Yayan Ruhian beserta Cecep Arif Rahman tampil sangat menghibur di sini? Oh, saya baru saja mengatakannya.

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : John Wick: Chapter 3 - Parabellum"