Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : It (2017)


“Derry is not like any town I've been in before. People die or disappear, six times the national average. And that's just grown ups. Kids are worse. Way, way worse.” 

Musim panas, sesosok badut pembawa balon warna merah yang murah senyum, dan bocah-bocah berpetualang menjelajahi kota kecil mereka seraya menaiki sepeda. Sepintas memang terdengar seperti sebuah tontonan bertemakan coming of age yang mampu dinikmati seluruh anggota keluarga. Sampai kemudian kita mendapati info bahwa film bertajuk It ini didasarkan pada novel angker laku rekaan Stephen King dan si badut yang murah senyum tersebut merupakan perwujudan makhluk misterius yang tak segan-segan memangsa habis manusia. Ya, It ialah sebuah tontonan bergenre horor yang topik kupasannya berpijak pada rasa takut beserta syok dari kurun kecil. Ini terperinci bukan untuk konsumsi mereka yang masih dibawah umur apalagi mengidap lemah jantung. 


Terlebih sang sutradara, Andy Muschietti (Mama), tak main-main dalam menghamparkan rentetan teror termasuk menerobos batasan-batasan yang biasanya dihindari sineas film menakutkan sehingga kesan mengusik kenyamanan berulang kali mencuat sepanjang durasi. Jika dirimu menganggap versi miniserinya yang dirilis pada tahun 1990 telah cukup membuatmu kesulitan memejamkan mata di malam hari – si badut memang menakutkan, tapi secara keseluruhan filmnya sendiri terbilang ‘meh’ – tunggu hingga kamu menyaksikan versi layar lebarnya yang berkali-kali lipat lebih meneror ini. 

Pada dasarnya, guliran pengisahan It garapan Andy Muschietti tak banyak mengalami perombakan berarti dari bahan sumbernya maupun versi terdahulu selain latar waktu yang digeser menuju tahun 1989 dari semula kala 1950-an. Para protagonis utamanya masihlah personil The Losers’ Club – kelompok para pecundang – yang konfigurasinya tersusun atas si gagap Bill (Jaeden Lieberher), si gemuk Ben (Jeremy Ray Taylor), si banyaomong Richie (Finn Wolfhard), si Yahudi Stanley (Wyatt Oleff), si penyakitan Eddie (Jack Dylan Grazer), si kulit gelap Mike (Chosen Jacobs), dan satu-satunya perempuan dalam kelompok ini, Beverly (Sophia Lillis). 

Mempunyai kesamaan nasib yakni dirundung problem langsung dengan orang bau tanah masing-masing di rumah dan menjadi sasaran utama perisakan dari Henry Bowers (Nicholas Hamilton) menciptakan ketujuh bocah ini merasa terhubung satu sama lain. Mereka bermain bersama, mereka berpetualang bersama, dan mereka memecahkan dilema bersama. Ditengah-tengah kegembiraan menyambut datangnya kebebasan di demam isu panas, problematika lain hadir yang bukan saja mengancam persahabatan mereka tetapi juga keselamatan nyawa masing-masing. Problematika tersebut berwujud sesosok badut misterius berjulukan Pennywise (Bill Skarsgård) yang sebelumnya telah membunuh adik Bill serta sejumlah bocah lain di kota Derry. 

Teror dalam It telah menciptakan diri ini terperanjat dari bangku bioskop sejak adegan pembukanya yang ikonik. Hujan deras mengguyur kota Derry, si kecil George (Jackson Robert Scott) yang merupakan adik Bill berlari-larian menerobos guyuran hujan demi mengejar perahu kertasnya yang terseret air, lalu Pennywise nongol dari gorong-gorong. Memang sih sebagian diantaranya mampu disaksikan melalui trailer, bahkan adegan ini mengingatkan pula ke versi miniserinya. Yang mengejutkan yaitu apa yang terjadi selanjutnya terkait bagaimana si pembuat film menunjukkan kekejaman si badut terhadap anak-anak. 

Belum menyiapkan jiwa raga sepenuhnya, datang-tiba kita melihat pemandangan mengerikan berupa seorang bocah kecil terkapar tak berdaya dengan kondisi tangan terpenggal dan berlumuran darah di tengah jalan seraya berteriak minta tolong. Sejurus lalu, tubuhnya diseret masuk ke dalam gorong-gorong oleh Pennywise. Glek! What an opening scene, huh? Melalui prolog ini, Andy Muschietti seolah memberi peringatan keras kepada para penonton bahwa sekalipun It melibatkan banyak karakter praremaja sebagai huruf utama, film tetap akan tersaji brutal alih-alih bermain kondusif seperti dilakukan Annabelle Creation gres-baru ini. Itulah mengapa, amat sangat disarankan untuk tidak membawa penonton dibawah usia 17 tahun ke dalam gedung bioskop lantaran konten It yang terhitung eksplisit sekaligus gelap.
 

Bukan sebatas pada visualisasi adegan kekerasan, tetapi juga konflik yang dihadapi masing-masing aksara. Sosok Beverly, contohnya, menghadapi pemerkosaan dari ayah kandungnya sendiri. Karakter lain mesti berdamai dengan duka akibat kehilangan, luka akhir bullying, sampai ketakutan pada kesepian. Sesuatu yang urung kita sadari dari guliran pengisahan di versi miniserinya, bukan? Tidak mirip rilisan terdahulu yang terpaksa berkompromi dengan sensor televisi sehingga diperhalus disana-sini, It milik Andy Muschietti lebih leluasa mengejawantahkan khayalan liar Stephen King ke dalam format audio visual. Ditunjang pula oleh sokongan dana besar, Pennywise yang sekali ini mendapat sentuhan imbas khusus tampak lebih mengancam ketimbang sebelumnya sebab ia bisa bertransformasi secara fleksibel ke wujud paling ditakuti dari bocah yang diterornya dan kebengisannya pun tertampang kasatmata. 

Dan jikalau kita berbincang soal teror, It ialah salah satu tontonan horor yang sanggup menyajikan daya cekam dengan amat memuaskan tahun ini. Sensasi yang dihadirkannya seperti saat kita menjelajahi wahana permainan rumah berhantu; seru, mengasyikkan, dan angker. Kebanyakan diantaranya memang berbentuk jump scare gampang diterka, namun ketepatan waktu dan ketepatan konteks kemunculannya membuatnya terasa sangat efektif. Sulit untuk tidak (lagi-lagi) terperanjat kemudian berteriak dalam setiap teror yang dihadapi personil The Losers’ Club maupun adegan “melihat foto dari proyektor” yang membuatku ingin sekali berkata garang itu. 

Disamping kemunculan teror yang sangat diperhitungkan, kesanggupan It menciptakan penonton terlibat ke dalam film dipengaruhi pula oleh barisan karakternya yang besar lengan berkuasa. Setiap bocah mempunyai kepribadian mengikat, setiap bocah mempunyai latar belakang kehidupan menarik, dan saat bahu-membahu, mereka mempunyai chemistry asyik yang akan membuatmu ingin sekali nongkrong bareng mereka sekaligus merindukan kurun-masa kecil. The Losers’ Club memberi kita perasaan bersemangat, tawa, hingga sesuatu yang sama sekali tidak aku antisipasi: air mata. Lebih dari sekadar film horor, It ialah film mengenai persahabatan, nostalgia era kemudian dan 'cinta kera' yang sedikit banyak mengingatkan kita terhadap Stand by Me (1986) yang diadaptasi pula dari karya Stephen King beserta serial Stranger Things (2016). 

Performa gemilang dari para bintang film cilik yang bisa mengimbangi Bill Skarsgård yang menghantui – terlebih Jaeden Lieberher, Finn Wolfhard, serta Sophia Lillis – membantu merealisasikan The Losers’ Club sehingga terasa aktual adanya. Ya, persahabatan antara personil The Loser’s Club adalah salah satu alasan utama mengapa aku sama sekali tidak keberatan It memiliki durasi yang merentang panjang hingga 134 menit karena memang film tampil mengasyikkan secara konsisten dan salah satu alasan utama mengapa aku tidak mengeluh kepada keputusan si pembuat film untuk memecah It ke dalam dua bagian (Oh ya, ini yakni It Part One, saudara-saudara!) alasannya adalah saya masih ingin bertemu kembali dengan mereka. Semoga saja reuni para personil kelompok para pecundang ini di It Part Two mampu melampaui atau minimal sama mengasyikannya dengan petualangan masa remaja mereka.

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : It (2017)"