Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The House With A Clock In Its Walls


“There's a clock in the walls. You don't know what it does except something horrible.” 

Tidak pernah terbayangkan akan datang masanya di saat Eli Roth dipercaya untuk mengomandoi sebuah film keluarga. Kalau kau mengikuti rekam jejaknya, tentu mengetahui bahwa beliau merupakan otak dibelakang Cabin Fever (2002) dan Hostel (2005) yang memperkenalkan kita dengan subgenre 'torture porn'. Sebuah genre turunan dari horor yang dipenuhi dengan visual mengganggu sarat darah, kekerasan dan penyiksaan. Sebuah genre yang terang tidak ramah bagi penonton anak-anak. Bahkan, lantaran kekerasan telah menjadi signature style dalam film garapannya, nama Roth pun karenanya identik dengan sadis hingga-sampai diri ini sulit membayangkan, “bagaimana ya risikonya jika Roth tak bersentuhan dengan kekerasan?.” Menduga beliau akan menjajal keluar dari zona nyaman dengan menggarap film drama atau komedi, siapa sangka bila lalu beliau justru direkrut oleh Amblin Entertainment kepunyaan Steven Spielberg untuk menggarap The House with a Clock in Its Walls yang notabene merangkul pasar keluarga? Terdengar menarik sekaligus ajaib di waktu bersamaan, tentu saja, meski saya risikonya mampu sedikit bisa memahaminya mengingat materi sumber film ini ialah sebuah novel anak berjudul sama rekaan John Bellairs yang mengambil jalur horror. 

Ya, The House with a Clock in Its Walls yakni sajian horor fantasi untuk seluruh keluarga dimana kau bisa menjumpai sihir, monster, serta rumah yang 'hidup'. Karakter utama dalam film ini ialah seorang bocah berusia 10 tahun berjulukan Lewis Barnavelt (Owen Vaccaro) yang gres saja kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan sehingga ia pun harus tinggal dengan sang paman, Jonathan (Jack Black), yang kini menjadi walinya. Seperti halnya kebanyakan film sejenis, kamu tentu bisa dengan gampang mengira bahwa Jonathan bukanlah seorang wali yang biasa-biasa saja. Lewis pun sudah bisa mencicipi adanya kejanggalan dalam diri sang paman sedari pertama kali menjejakkan kaki di rumah besarnya yang tak kalah janggalnya. Di rumah tersebut, Lewis turut berkenalan dengan Florence Zimmerman (Cate Blanchett), tetangga sekaligus sobat baik Jonathan yang seringkali mampir (plus kerap mengenakan busana serba ungu) demi menuntaskan suatu masalah. Kasus tersebut yakni mencari keberadaan sebuah jam yang senantiasa berdetak yang disembunyikan oleh pemilik rumah sebelumnya, Isaac Izard (Kyle MacLachlan), karena menyimpan kekuatan jahat yang dapat menghancurkan dunia. Lewis yang tadinya hanyalah bocah polos yang kesepian, hasilnya menerima kesempatan untuk mempelajari sihir dari Jonathan dan Florence yang ternyata seorang penyihir demi membantu mereka dalam mengungkap eksistensi jam asing tersebut sebelum dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab. 


Sebagai sebuah film yang merangkul pasar keluarga, The House with a Clock in Its Walls bekerjsama masih cukup menghibur, setidaknya bagi penonton cilik. Kemungkinan besar, mereka akan terpukau begitu diajak memasuki rumah Jonathan yang di dalamnya terdapat hal-hal magis berantakan seperti 'binatang peliharaan' berwujud dingklik sofa yang tingkahnya ibarat anak anjing, jendela kaca patri dengan gambar yang bisa berubah sewaktu-waktu, hingga topiary berbentuk singa yang kerap buang hajat sembarangan. Mereka pun akan tertawa melihat kelakuan Jonathan yang cenderung nyentrik serta sering dibentuk kesal dalam menghadapi benda-benda magis di rumahnya yang sering jahil ini, dan mereka juga akan meringkuk di bangku bioskop (atau malah memekik takut) begitu sesosok mayit hidup berdiri dari kuburnya, sekelompok labu bergigi tajam menyerang para protagonis kita dengan ganas, hingga boneka-boneka bertampang seram di gudang mendadak hidup. Roth terbukti mampu menyuplai menu horor ramah anak, sekalipun gaya berceritanya di sini malah mengingatkan saya pada film-film rekaan Tim Burton karena visualnya yang mengaplikasikan nuansa gothic dan karakter Jonathan-Florence tak ubahnya tugas yang biasa dimainkan oleh Johnny Depp-Helena Bonham Carter. The House with a Clock in Its Walls terasa sangat familiar dan Roth tak menunjukkan sentuhan apapun untuk membuatnya terasa segar maupun berbeda. 

Itulah mengapa para penonton cukup umur yang terbiasa mengonsumsi film sejenis, kemungkinan besar bakal mengalami kesulitan dalam menginvestasikan emosi untuk The House with a Clock in Its Walls. Bukan hanya disebabkan oleh tidak adanya pembaharuan, tetapi juga ketidakmampuan Roth untuk menghadirkan sensasi takjub pada penonton tatkala kita diajak memasuki dunia gres Lewis (padahal production value sudah maksimal!) dan ketidaksanggupannya untuk menggulirkan narasi yang benar-benar menggigit. Roth beserta penulis skenario, Eric Kripke, melantunkan kisah secara apa adanya tanpa pernah mengeksplorasi lebih dalam sedih yang menghinggapi Lewis. Padahal, melalui sosok Lewis, film sejatinya berbicara soal 'berdamai dengan murung yakni bagian dari tumbuh dewasa' disamping 'berbeda adalah anugerah' dan itu hanya tersampaikan tipis-tipis. Performa Owen Vaccaro pun tak memberikan isyarat bahwa Lewis telah terpinggirkan dari pergaulan apalagi berduka atas meninggalnya kedua orang tuanya, malah ia tampaknya menerima keadaannya dengan tulus. Saya tidak pernah mencicipi rasa kehilangan, kerinduan, kesepian, atau amarah dalam dirinya sehingga film pun tak jarang terasa hambar. Yang kemudian menghindarkan film untuk bertransformasi menjadi cerita nina bobo yakni akting Cate Blanchett sebagai Florence yang elegan. Dia begitu jenaka tatkala beradu mulut bersama Jack Black, dan dia pun hangat dikala berdialog bersama Owen Vaccaro bak seorang bibi yang mengasihi keponakannya. Dia juga terlihat bersenang-bahagia dengan peran yang dimainkannya tanpa harus terlihat berlebihan seperti lawan mainnya: Tuan Black.

Acceptable (3/5)


Post a Comment for "Review : The House With A Clock In Its Walls"