Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Happy Death Day


“Look, I know this isn’t going to make any sense. I feel like I’m losing my mind. I’ve already lived through this day.” 

Rumah produksi Blumhouse Productions tahu betul bagaimana caranya mengolah film berkonsep tinggi dengan bujet murah tanpa harus mengorbankan kualitas dari film bersangkutan. Tengok saja The Purge, Split, serta Get Out yang mampu memanfaatkan ruang gerak serba terbatas secara efektif sehingga menghasilkan tontonan mencekam yang mencengkram bersahabat. Usai melepas dua judul terakhir pada kuartal pertama tahun ini yang disambut sangat hangat oleh kritikus sekaligus khalayak ramai, Blumhouse kembali mencoba peruntungan di 2017 dengan meluncurkan Happy Death Day yang premisnya saja telah menggelitik rasa kepenasaran saya untuk segera menontonnya. Coba bayangkan, bagaimana seandainya kamu tewas dibunuh di hari ulang tahunmu lalu hari pembunuhanmu tersebut terus berulang dan berulang seolah tak pernah berakhir? Yang pertama kali terlintas di benak ketika mendengar premisnya, film aba-aba Christopher B. Landon (Paranormal Activity: The Marked Ones) ini bagai percampuran antara Groundhog Day (1993) yang mengaplikasikan konsep time loop (satu waktu tertentu yang terus mengalami perulangan) dengan Scream (1996) yang berada di jalur slasher dengan bumbu komedi. Menarik sekali, bukan? Kabar baiknya, Happy Death Day sanggup tampil dalam kapasitas cukup memuaskan dan tidak mempermalukan sumber referensinya. 

Dalam Happy Death Day, kita diperkenalkan kepada seorang mahasiswi terkenal yang mewakili stereotip “dumb bitch” bernama Tree Gelbman (Jessica Rothe). Pada hari ulang tahunnya yang ke-18, Tree terbangun di kamar asrama seorang pria yang tidak dikenalnya, Carter Davis (Israel Broussard), tanpa sedikitpun mampu mengingat apa yang telah terjadi di malam sebelumnya. Selepas memberi respon sama sekali tak dekat kepada Carter yang ternyata telah membantunya, Tree berlari kembali ke asramanya di klub persaudaraan Kappa Kappa Gamma. Selama perjalanan, Tree dihampiri aktivis penyelamat lingkungan, menyaksikan sepasang kekasih batal bercumbu balasan semprotan air otomatis, berjumpa dengan seorang pria yang naksir berat kepadanya, dicecar pertanyaan oleh ketua klub persaudaraannya, sampai mendapat cupcake ulang tahun dari sobat sekamarnya, Lori Spengler (Ruby Modine). Yang lantas dilakukan oleh Tree di sisa hari yaitu menemui dosen sekaligus kekasih gelapnya, Gregory Butler (Charles Aitken), dan menghadiri sebuah pesta. Tatkala menuju ke lokasi digelarnya pesta, seseorang dengan topeng bayi menyergapnya lalu membunuhnya. Alih-alih berpindah ke alam lain, jiwa Tree justru terjebak di hari ulang tahunnya dan terus mengulang kembali apa yang telah dialaminya selama sehari sampai beliau mengetahui siapa dalang dibalik kematiannya. 


Happy Death Day telah menawarkan mengambarkan bahwa film ini akan menjadi tontonan yang mengasyikkan semenjak logo Universal muncul dengan gaya tidak biasa mengikuti guliran pengisahan film yang mengaplikasikan konsep time loop: mendadak berhenti sehabis satu detik mengalun, kemudian diulang lagi dari awal. Dan memang, menerangkan tersebut sama sekali tidak berbohong alasannya adalah Landon mampu mengemas Happy Death Day menjadi gelaran hiburan yang menyenangkan dengan nuansa yang sedikit banyak membuat saya bernostalgia ke sederet film slasher akil balig cukup akal di kala 1990-an mirip Scream, I Know What You Did Last Summer, hingga Urban Legend. Kita diperkenalkan dengan huruf utama perempuan yang cantik, kemudian diajak memasuki area kampus dan dipertemukan dengan karakter-huruf sampingan dari banyak sekali strata sosial (yang semestinya pula kita curigai satu persatu), kemudian sesosok pembunuh yang mengenakan topeng muncul dan pembunuhan pun terjadi. Pembedanya, si pembunuh tidak dikondisikan untuk mengenyahkan aksara-karakter sampingan terlebih dahulu melainkan seketika mengincar si aksara utama yang mulanya sungguh teramat menjengkelkan itu. Mengingat Happy Death Day mempergunakan konsep time loop, maka terbunuhnya Tree untuk pertama kalinya bukanlah simpulan dari segalanya akan tetapi justru awal dari rentetan kesialan yang akan dihadapi oleh Tree. 

Momen-momen yang menawarkan Tree berhadapan pribadi dengan si pembunuh menjadi daya tarik utama film. Landon bisa menginjeksikan intensitas yang mencukupi dan mengkreasi adegan-adegan pembunuhan yang kreatif sehingga tewasnya Tree senantiasa memberi sensasi berdebar-debar kepada penonton sekaligus memancing rasa penasaran sebab cara Tree menjumpai akhir hayat yang acapkali berbeda antara satu dengan yang lain. Memang sih sebagai film yang mengatasnamakan dirinya sebagai horor, Happy Death Day agak sulit dikata menyeramkan (maklum, ratingnya di Amerika Utara sendiri hanya PG-13 yang cukup membatasi film untuk hadir dalam tingkat kekerasan dan teror yang lebih tinggi). Namun ketiadaan momen besar yang menciptakan diri ini meringkuk tampan di dingklik bioskop atau mengalami mimpi jelek usai menontonnya, tidak sedikitpun menghalangi Happy Death Day dalam memberi pengalaman menonton yang mengasyikkan. Faktor penyebabnya yakni kemampuan si pembuat film untuk mengkreasi serentetan momen Tree diteror si pembunuh yang tidak saja mencekam tetapi juga mengundang derai tawa serta performa memikat dari Jessica Rothe yang mampu menghadirkan transformasi meyakinkan terhadap sosok Tree sehingga saya tidak merasa keberatan untuk memberi dukungan penuh kepadanya. Saya sempat berada di fase harap-harap cemas menanti apa yang akan menimpanya: akankah beliau mampu melewati hari kematiannya atau malah terperangkap di hari tersebut untuk selamanya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Post a Comment for "Review : Happy Death Day"