Review : Hanum & Rangga (Faith & The City)
Sejujurnya, aku menyukai dwilogi 99 Cahaya di Langit Eropa (2013-2014) yang didasarkan pada novel berjudul sama rekaan Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Bukan semata-mata alasannya adalah mata dibikin adem alasannya adalah melihat Raline Shah berhijab, melainkan lebih disebabkan oleh narasinya yang terasa lapang dada dan menghangatkan hati. Dalam film tersebut, Hanum Salsabiela Rais dikisahkan mendampingi suaminya, Rangga Almahendra, untuk menuntaskan studi S3 di Vienna, Austria. Selama menetap di sana, keduanya menelusuri jejak-jejak Islam di Eropa seraya berupaya memperbaiki citra Islam yang jelek di mata sebagian pihak. Beberapa orang menyebutnya sebagai film perjalanan, lebih-lebih konfliknya tak terlalu runcing di sini. Tapi bagi aku, disitulah letak menariknya lantaran film bangun di jalur realis yang acapkali mempersilahkan penonton untuk merenung usai diperdengarkan percakapan (atau perdebatan) antara Hanum dengan Rangga, Hanum dengan teman-temannya, maupun Rangga dengan kawannya yang membenci Islam. Lingkupnya personal saja, tak berambisi untuk membuktikan kepada seluruh umat manusia bahwa “dunia ini akan lebih baik dengan adanya Islam”. Ambisi ini, sayangnya, diterapkan ke film berikutnya, Bulan Terbelah di Langit Amerika (2015-2016), yang justru membuat narasi terlalu bombastis hingga-sampai sulit dipercaya kebenarannya – plus aku paling malas dengan film dakwah yang penuh letupan kemarahan di dalamnya – dan instalmen terbaru dari Hanum-Rangga Cinematic Universe, Hanum dan Rangga (Faith and the City), yang untuk pertama kalinya diakui sebagai cerita fiksi.
Pertanyaan “would the world be better without Islam?” menjadi bekal yang senantiasa dibawa oleh Hanum Salsabiela (Acha Septriasa) dalam menapaki karir sebagai jurnalis. Kemanapun dia berpijak, dia ingin pertanyaan ini terjawab sehingga masyarakat di aneka macam penggalan dunia menyadari bahwa Islam yaitu agama yang rahmatan lil’ alamin (penuh rahmat) alih-alih penuh kebencian – meski kenyataannya dalam film, pertanyaan tersebut tak pernah memperoleh balasan memuaskan. Pertanyaan ini pula yang diboyongnya ketika ia menerima anjuran untuk bekerja magang selama tiga pekan sebagai reporter di stasiun televisi GNTV New York. Hanum melihat ini sebagai kesempatan emas untuk melakukan syiar agama, kesempatan emas untuk ‘berdialog’ dengan publik Amerika Serikat yang belum pernah mengenal wajah Islam bantu-membantu. Dilingkupi semangat karena dirinya berkesempatan menjadi distributor perubahan yang signifikan, idealisme Hanum ini malangnya justru terbentur oleh visi misi sang atasan yang mendewakan rating, Andy Cooper (Arifin Putra). Andy menginginkan acara yang membuat pemirsanya termehek-mehek, bukan acara yang menenangkan hati alasannya itu dianggapnya membosankan. Walaupun tidak pernah sejalan dengan cara kerja Andy, toh Hanum tetap bertahan di GNTV seraya mencari wangsit segar untuk program selanjutnya. Kesibukan Hanum dengan pekerjaannya ini tanpa pernah disadarinya secara perlahan tapi niscaya justru merenggangkan hubungannya dengan sang suami, Rangga Almahendra (Rio Dewanto). Pertengkaran demi pertengkaran pun tak terhindarkan ditambah lagi Hanum merasa cemburu melihat kedekatan Rangga dengan Azima Hussein (Titi Kamal).
Disandingkan dengan dua instalmen Bulan Terbelah di Langit Amerika yang menghadirkan ketidaknyamanan dalam pengalaman penonton pada sepanjang durasinya menyusul narasinya yang sukar diterima nalar, Hanum dan Rangga (Faith and the City) adalah sebuah peningkatan. Pertanyaan “would the world be better without Islam?” memang sekali lagi dipergunakan hanya sebagai pancingan bagi penonton semata tanpa menerima eksplorasi di guliran pengisahan. Akan tetapi, instalmen ini setidaknya menghadirkan materi pembicaraan yang lebih fokus dan menggigit seputar gender role – atau secara lebih spesifik, peranan suami istri dalam sektor rumah tangga – ketimbang mengejar sensasi dengan mengupas soal jejak kedigdayaan Islam di Benua Amerika selaiknya dua seri terdahulu. Dalam satu adegan, Rangga sempat meluapkan kekecewaannya terhadap Hanum yang mulai abai kepada dirinya dengan satu pernyataan, “tapi kamu kesampingkan perasaan suami kamu sendiri hingga kamu melupakan peran utamamu sebagai seorang istri.” Ini menarik sebab bisa memunculkan setidaknya dua renungan: apakah benar Hanum telah melupakan tugasnya di ranah domestik akibat dibutakan oleh ambisinya dalam mengejar karir? Atau justru bantu-membantu kemarahan Rangga tersebut dipicu oleh rasa insecure sebab melihat karir sang istri menjulang secara cepat? Apabila berkenan untuk digali lebih mendalam, pernyataan beserta pertanyaan ini sejatinya mampu menghasilkan pembicaraan mengenai seorang muslimah yang berkarir. Pembicaraan yang rasa-rasanya akan menghadirkan materi diskusi menarik bagi pasangan suami istri di luar sana yang mungkin sedang dirundung problem selepas sang istri menetapkan untuk berkarir.
Mungkin berpikiran sama dengan Andy Cooper, duo Hanum-Rangga berikut sang peracik skenario, Alim Sudio, dan sang sutradara, Benni Setiawan, menganggap konflik ini berpotensi menjemukan bagi penonton sehingga mereka enggan menguliknya lebih mendalam. Langkah yang ditempuh sebagai bentuk kompensasinya ialah mengejar dramatisasi. Entah itu dalam lingkungan kerja Hanum yang digambarkan memiliki seorang atasan yang toxic, atau dalam kekerabatan Hanum-Rangga yang diusik oleh kehadiran orang ketiga. Obsesi ini tentu saja bukanlah hal yang sehat alasannya apa yang mengikutinya yakni rentetan insiden yang too good to be true sekaligus konyol. Saya sih masih bisa mencoba memafhumi di separuh durasi awal (tapi aku masih tak mampu memahami spesialisasi beserta prestis yang dipunyai GNTV). Hanya saja begitu menyadari pemicu konflik diantara dua huruf utama ialah salah paham berlandaskan tuduhan perselingkuhan, saya cuma bisa berkata “baeklah.” Ya kala pasangan saling mengasihi, mempunyai gelar tinggi pula, dibutakan oleh cemburu semata-mata karena melihat pasangannya ngobrol berdua dengan lawan jenis sih? Atau inikah yang disebut cinta tak mengenal nalar? Jika ini masih bisa mendapatkan pemakluman, aku akibatnya tak tahan lagi untuk menahan tawa di babak titik puncak (maaf, kalimat-kalimat selanjutnya akan mengandung spoiler). Dalam adegan dimana Hanum balasannya berkesempatan memandu acara live, aib Andy Cooper terekspos. Alih-alih fokus pada wawancara dengan Azima dan Philipus Brown (Timo Scheneumann) – tonton Bulan Terbelah di Langit Amerika untuk mengetahui apa yang bikin mereka penting – Hanum beserta narasumbernya justru mengungkap kebobrokan Andy dilanjut pemecatan terhadap Andy oleh Philipus yang gres saja membeli sebagian saham GNTV.
Serius, darling? Ini adalah program televisi di Amerika Serikat lho. Saya masih bisa membayangkannya apabila ini terjadi di Indonesia, tapi di negeri Paman Sam? Pelanggaran keras atas arahan etik jurnalistik. Belum lagi program yang dipandu oleh Hanum ini mewartakan tentang Islam. Sejahat-jahatnya Andy, saya rasa mengungkap aibnya di depan publik tetap saja bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh Islam. Jika demikian, lalu apa bedanya Hanum dengan Andy? Mengingat SARA tengah menjadi dilema serius di Amerika Serikat, bukankah kejadian seperti ini justru akan semakin mencoreng citra Islam yang sudah terlanjur jelek di mata sebagian warga setempat? Ini konyol. Padahal saya sudah berharap banyak kepada abjad Hanum yang mulanya menggebu-nggebu dikala berbicara tentang idealisme dan integritas. Tak tahunya, penyelesaian masalahnya jauh dari kata elegan apalagi kesantunan dan menjunjung dramatisasi serta mengambil jalur penyederhanaan. Sungguh kecewa. Ditengah kekecewaan ini, saya lantas dikejutkan oleh adegan berikutnya yang tergarap manis… sampai sebuah pengungkapan lain menyerang. Karakter gay yang dimainkan secara lucu oleh Alex Abbad (ini abnormal sih sebenernya karena dia melakonkan peran bertolak belakang di 99 Cahaya di Langit Eropa yang berkesinambungan dengan instalmen ini) mendadak ‘insyaf’ tanpa karena. Pertanyaannya: apa kita membutuhkan adegan ini? Untuk apa? Untuk memperlihatkan bahwa gay yakni sebuah ‘penyakit’ yang bisa disembuhkan? Ini pointless banget sih, kecuali untuk menegaskan posisi si pembuat film terhadap LGBT.
Kekacauan pada babak klimaks ini menghantarkan Hanum dan Rangga (Faith and the City) menjadi tontonan mengecewakan. Seperti halnya Andy Cooper si karakter antagonis yang hancur karena ambisinya mengejar drama, film ini pun menukik tajam lantaran kelewat berangasan ingin mengajak penonton termehek-mehek. Padahal film sejatinya memiliki obrolan menarik, penggarapan Benni Setiawan pun mengalir lancar, dan Acha Septriasa sekali lagi tak mengecewakan sekalipun energinya agak meredup tanpa Abimana Aryasatya. Sungguh sangat disayangkan.
Post a Comment for "Review : Hanum & Rangga (Faith & The City)"