Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Half Of It


“The good thing about being different is that no one expects you to be like them.”

Di atas kertas, The Half of It memang terbaca mirip film percintaan untuk dewasa yang picisan. Tentang seorang lelaki yang kesulitan dalam mengungkapkan perasaannya kepada wanita terkenal yang ditaksirnya, wacana seorang wanita yang membisu-diam menyukai seseorang tetapi tak berani mengungkapkannya, dan ihwal dongeng asmara segitiga yang melibatkan narasi lawas seputar “dari sobat jadi pacar.” Akan tetapi, film yang guliran pengisahannya separuh terinspirasi dari drama klasik Cyrano de Bergerac dan separuh terinspirasi dari pengalaman masa muda sang sutradara, Alice Wu (Saving Face), ini ternyata enggan untuk berkubang di genre drama romantis yang konvensional. Mengusung tagline berbunyi “a different kind of love story”, film berupaya menawarkan pelintiran dengan menempatkan si aksara utama sebagai seorang lesbian yang membubuhkan kompleksitas tersendiri bagi konflik dan mengedepankan topik perbincangan cukup mendalam yang jarang dijumpai di genrenya – meski well, belakangan ini sudah menjadi “new normal”. Lebih dari itu, The Half of It sejatinya lebih didesain sebagai sebuah menu tentang tumbuh cukup umur atau coming of age dimana elemen romansanya bukanlah fokus utamanya melainkan lebih ke pemantik munculnya titik balik bagi tokoh-tokohnya. Mudahnya, perkenalan mereka terhadap cinta telah mengubah cara pandang mereka tidak hanya kepada diri sendiri, tetapi juga orang lain dan kehidupan.

Karakter sentral dalam The Half of It ialah seorang akil balig cukup akal berdarah Asia, Ellie Chu (Leah Lewis), yang tinggal di sebuah kota kecil nan konservatif berjulukan Squahamish bersama ayahnya, Edwin (Collin Chou), yang bekerja di stasiun setempat. Ellie sendiri digambarkan sebagai siswi berotak encer yang tak memiliki sobat karib dan kerap menerima perisakan dari beberapa siswa. Guna bertahan hidup di SMA sekaligus membantu ayahnya dalam membayar tagihan, Ellie memberikan jasa “ilegal” berupa mengembangkan tugas esai yang belakangan menarik perhatian salah seorang atlet di sekolahnya, Paul Munsky (Daniel Diemer). Yang tak disangka-sangka oleh protagonis kita, usul Paul bukanlah menuliskan esai melainkan sebuah surat cinta untuk siswi terkenal di sekolah mereka, Aster Flores (Alexxis Lemire). Bagi Ellie, menggubah surat cinta ini menjadi tantangan tersendiri baginya karena Paul mampu dibilang agak oon sehingga ia pun terpaksa mencurahkan isi hatinya ketimbang menuangkan isi hati dan kepala dari si klien sebagai konten. Ternyata oh ternyata, Aster menyambut baik surat ini yang lalu mendatangkan persoalan lain: Paul nekat mengajak Aster berkencan tanpa menguasai topik obrolan yang digemari oleh pujaan hatinya yaitu karya sastra dan seni. Alhasil, dia pun “belajar” kepada Ellie yang secara perlahan tapi niscaya mendekatkan korelasi keduanya. Paul membisu-membisu mulai menaruh rasa ke sobat barunya ini tanpa menyadari bahwa Ellie bahu-membahu kesengsem berat dengan Aster.


Satu hal yang perlu diantisipasi, The Half of It bukanlah tipe tontonan yang meletup-letup dalam penyampaian emosinya. Seperti Squahamish itu sendiri, film dilantunkan oleh Alice Wu dengan metode kontemplatif yang damai dan perlahan. Boleh jadi akan terasa menjemukan bagi penonton yang sepenuhnya mendamba hidangan romantis yang anggun-manis menggemaskan. Tapi mirip telah disinggung sebelumnya, si pembuat film memang tidak meniatkannya untuk menjadi epigon dari To All the Boys I’ve Loved Before (2018) sekalipun sama-sama melibatkan seorang dewasa perempuan berdarah Asia, secarik surat cinta, serta Yakult. Wu lebih tertarik untuk mengeksplorasi tentang makna cinta dan bagaimana pengaruhnya terhadap umat insan. Sebagai studi perkara, ia menempatkan tiga huruf inti dalam film sebagai subjek penelitian. Ellie yang kesepian, Paul yang tidak tahu arah tujuan, serta Aster yang tidak memiliki keberanian untuk bersuara. Pada permulaan film, ketiganya mirip legawa dalam mendapatkan kenyataan bahwa mereka “terperangkap” di Squahamish yang masih mengamalkan nilai-nilai tradisional dimana warganya digambarkan religius dan tidak keberatan nikah muda. Dalam masalah Ellie, ia enggan beranjak karena ingin merawat sang ayah sekalipun kota ini bukanlah daerah yang ideal baginya sebagai seorang ateis, lesbian, serta menaruh minat pada seni. Bahkan dalam satu dua kesempatan, karakternya sempat dipanggil “kafir” dan “jago neraka” yang tentu saja membuat hamba seketika tertawa geli. Wu sama sekali tidak merasa canggung dalam memperbincangkan info-gosip bernada sensitif seperti agama, ras, hingga orientasi seksual.

Menariknya, sederet isu tersebut tidak didayagunakan oleh Wu sebagai ajang protes yang cerewet, melainkan diimplementasikan ke dalam konflik batin para karakternya yang diutarakan dalam narasi dengan bubuhan humor lucu disana sini. “Siapa bekerjsama saya?” ialah kegundahan yang merongrong tiap tokoh dan kita melihat mereka berproses dalam mencari jati diri masing-masing. Semuanya bermula dari surat cinta untuk Aster yang tanpa dinyana-nyana mampu mengubah hidup dari mereka-mereka yang terlibat. Ellie dan Paul menemukan sesosok teman sejati yang memberi pencerahan mengenai langkah selanjutnya (sebelumnya bundar pertemanan Paul adalah atlet yang tak pernah menganggap dirinya secara serius), sedangkan Aster menyadari bahwa ada seseorang yang nrimo mencintainya dan mempunyai passion serupa dengannya. Menilik perbincangan yang diajukan, tidak mengherankan kalau lalu The Half of It sangat menekankan pada interaksi Trio Kwek-Kwek ini baik secara langsung maupun memanfaatkan medium surat atau aplikasi chatting. Dialog-dialognya ditulis dengan menarik (quotable and relatable!) sehingga aku betah mendengar percakapan-percakapan diantara para tokohnya terlebih lagu-lagu yang mengiringi dikurasi secara cermat dan akting dari jajaran pemainnya pun memadai. 

Leah Lewis menyimpan kerapuhan dibalik pembawaannya yang tampak keras, Daniel Diemer punya sorot mata polos yang akan meluluhkanmu, dan Alexxis Lemire memberi aksen misterius dalam penampilannya yang bikin kita percaya bila beliau diidolakan banyak orang. Walau film sempat terasa jalan di kawasan memasuki pertengahan durasi, performa ketiga pelakon ini berikut naskah kreasi Wu menciptakan hamba masih memegang akidah bahwa akan ada penebusan di ujung kisah. Dan benar saja, The Half of It menyuguhkan satu momen pamungkas layak dikenang yang meninggalkan kesan bagus dan menenangkan hati bagi cerita pencarian jati diri di Squahamish ini. Saya jamin kalian akan tersenyum-senyum sendiri melihatnya.

Exceeds Expectations (3,5/5) 



Post a Comment for "Review : The Half Of It"