Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Glass


“We are part of something larger. We are fighting for the broken.”

Bagaimana risikonya bila ternyata selama ini superhero dan supervillain yang kita kenal melalui komik memang benar-benar ada? Mereka yakni orang yang kita jumpai di jalanan, mereka adalah orang yang kita kenal, dan bahkan, mereka adalah keluarga kita. Mereka bertindak seperti orang kebanyakan alasannya adalah mereka belum menyadari kekuatan yang dimiliki dan menganggap kisah dalam komik hanyalah imajinasi dari seorang pencerita ulung alih-alih merepresentasikan insiden kasatmata. Melalui Unbreakable (2001), M. Night Shyamalan yang dijuluki sebagai “mahir twist” mengeksplorasi pengandaian ini menjadi sebuah narasi yang periode itu terbilang ciamik hingga-sampai disebut mendeskrontruksi genre superhero. Tak ada jagoan berjubah yang perkasa dan bisa diandalkan kapanpun, si pembuat film justru menyodorkan dongeng berpendekatan realistis dengan huruf utama seorang laki-laki paruh baya yang tak tahu menahu mengenai jati dirinya. Mengingat Shyamalan tak pernah sesumbar soal origin story dari superhero, babak pengungkapan dari tontonan thriller ini menawarkan kejutan tersendiri. Begitu pula dengan Split (2017) yang ternyata oh ternyata bukanlah psychological horror biasa karena ini merupakan kelanjutan ‘tersembunyi’ dari Unbreakable yang menaruh fokus pada lahirnya seorang supervillain. Berhubung sang sutradara telah bermimpi sedari lama untuk mengkreasi sebuah trilogi berbasis kisah kepahlawanan, maka kesuksesan besar Split dimanfaatkannya sebagai jalan untuk mewujudkan babak ketiga bertajuk Glass yang digadang-gadang memiliki showdown epik. Tapi bisakah pernyataan ini dipercaya?

Dalam Glass, penonton sekali lagi dipertemukan dengan Kevin Wendell Crumb (James McAvoy) yang mempunyai 24 kepribadian termasuk “The Beast” yang buas kolam binatang liar, kemudian David Dunn (Bruce Willis) yang tubuhnya tahan banting serta mampu mengenali abad kemudian seseorang melalui sentuhan tangan, dan Elijah “Mr. Glass” Price (Samuel L. Jackson) yang tulang-tulangnya mudah patah. Ketiga abjad ini akibatnya saling bersinggungan sehabis mereka ditempatkan dalam sebuah rumah sakit jiwa dimana Elijah telah mendiami daerah tersebut semenjak penghujung dongeng Unbreakable. David yang selama ini bergerilya dalam menjalankan tugasnya sebagai pembasmi kejahatan turut ditangkap usai dirinya kedapatan tengah bertarung melawan Kevin dalam upayanya menggagalkan rencana pembunuhan terhadap sejumlah cukup umur perempuan. Ada dua alasan yang membuat pihak berwajib menetapkan untuk menahan David yang selama dianggap sebagai pahlawan; 1) ia berlagak mirip hakim tanpa disertai bukti kuat, dan 2) beliau dianggap mempunyai gangguan kejiwaan “delusions of grandeur” lantaran menyatakan dirinya mempunyai kekuatan melebihi manusia normal. Dibawah pengawasan seorang psikiater bernama Dr. Ellie Staple (Sarah Paulson), ketiganya memperoleh perawatan yang bertujuan untuk mengenyahkan pedoman bahwa mereka ialah manusia-manusia perkasa. Bertujuan supaya ketiganya mampu bertindak lagi selayaknya insan normal. Ditengah usaha Ellie dalam ‘meluruskan’ ajaran para pasiennya ini, Elijah membisu-membisu merencanakan sesuatu yang besar demi mengungkap kepada dunia mengenai keberadaan insan perkasa mirip David dan Kevin.


Sebagai sebuah film yang dipersiapkan menjadi babak pamungkas dari trilogi yang mempunyai dua film kece, sayangnya Glass terasa kurang ‘wah’. Showdown epik yang dijanjikan urung hadir, dan sejujurnya aku pun tak pernah berharap banyak mengingat film ini hanya memperoleh suntikan dana sebesar $20 juta yang tentunya tak cukup memadai untuk mengkreasi gegap gempita. Terlebih lagi, portofolio Pak Shyamalan dalam menggarap film tabrak semacam The Last Airbender (2010) dan After Earth (2012) pun jauh dari kata menggembirakan. Lempeng selempeng lempengnya. Kaprikornus apakah masih mampu dibilang berlebihan jikalau saya mendamba Glass bakal dikaruniai momen berkelahi yang mengasyikkan? Tentu tidak dan apabila ada penonton yang berekspektasi demikian pun saya tidak mampu menyalahkannya. Betapa tidak, Shyamalan telah sesumbar dengan menyebut film ini sebagai tontonan unik, menarik, dan tentunya, besar. Tiga kata sifat yang kesemuanya agak kurang cocok untuk dialamatkan kepada Glass. Saya tidak akan menyebutnya sebagai menu yang jelek toh diri ini masih cukup menikmatinya. Selama durasi mengalun sepanjang 128 menit – dan ini sejatinya bisa dipangkas sekitar 20 menit tanpa harus menghilangkan esensinya – ada beberapa momen yang sempat membuat saya bersedia untuk menempatkan atensi pada layar lebar. Momen terbaik dalam Glass, setidaknya bagi aku, bisa dijumpai pada belasan menit pertama ketika David hasilnya bisa melacak keberadaan Kevin, pada pertengahan durasi dimana Ellie mengeluarkan hipotesanya di hadapan tiga huruf utama, dan pada babak titik puncak tatkala Elijah mulai menunjukkan rencana besarnya.

Ya, bukan dikala film dipenuhi dengan percakapan-percakapan yang kurang menarik untuk didengarkan atau dikala si pembuat film mencoba unjuk kebolehan dalam mengkreasi adegan langgar yang nyatanya “gitu doang”, Glass berada di titik terbaiknya dikala elemen suspense yang memang menjadi keahlian dari Shyamalan menampakkan keberadaannya. Dan elemen ini dapat terdeteksi melalui momen-momen terbaik yang telah saya sebutkan yang nyaris kesemuanya terletak di permulaan dan penghujung film, sementara pertengahan durasi yang kekurangan tenaga menjadi semacam kisah pengantar tidur. Disamping keberadaan elemen suspense, hal terbaik lain yang mampu dijumpai dari Glass adalah performa jajaran pemainnya yang tidak mengecewakan khususnya James McAvoy yang tampak bersenang-senang dengan perannya yang sekali ini mempersilahkannya untuk memainkan lebih banyak kepribadian ketimbang ketika ia berlakon dalam Split. Tidak sebatas menekankan pada gestur maupun mimik muka, McAvoy turut memberi perubahan pada intonasi bunyi sehingga penonton mampu mengenali kepribadian mana yang tengah mengambil alih ‘cahaya’ milik Kevin. Berkat permainan lakon ini – oh, kredit khusus juga patut disematkan pada Samuel L. Jackson yang bikin gregetan! – ditambah adanya daya cekam di beberapa titik sedikit banyak membantu menyelamatkan Glass dari kemungkinan pecah berkeping-keping. Memang sih film ini tidak seunik, semenarik, serta sebesar yang dijanjikan terlebih kita hidup di kurun dimana superhero movies telah sangat umum dengan ragam pendekatan. Tapi setidaknya film ini masih mempunyai setitik keunggulan yang membuatnya sanggup dinikmati, setidaknya itu bagi saya yang tidak pernah berekspektasi lebih pada Glass.
    
Acceptable (3/5)


Post a Comment for "Review : Glass"