Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Calon Bini


“Aku mau kejar mimpiku pake sepur.”

Ulasan ini akan saya buka dengan satu akreditasi: saya mengagumi Michelle Ziudith. Bukan semata-mata disebabkan oleh parasnya yang cantik dan tingkahnya yang terkadang menggemaskan, tetapi juga karena ia memancarkan sebuah karisma sebagai seorang aktris. Agak sulit untuk mendeskripsikannya secara mendetail, tapi satu yang terperinci, saya selalu senang setiap kali melihatnya. Tak ada rasa jenuh walau beliau terjebak dalam peran-tugas tipikal, tak ada pula rasa sebal walau ia terkungkung dalam abjad-abjad dengan peringai menjengkelkan. Saya selalu kembali untuk menyaksikan film-filmnya meskipun sebagian besar diantaranya bikin ngelus dada saking… ah, kalian tahu sendiri. Michelle Ziudith acapkali menjadi penyelamat di film-film ajaibnya ini berkat performanya yang (bekerjsama) apik. Dia tampil enerjik, lepas tanpa beban, dan tangisannya pun tak terkesan dibentuk-dibentuk. Potensi untuk berkembang jauh terang terpampang aktual yang sayangnya terbelenggu oleh keputusan untuk bermain aman di rangkaian film percintaan remeh temeh dengan tugas yang tidak jauh berbeda. Dari sembilan judul yang menempatkannya di garda terdepan, hanya Remember When (2014) dan Ananta (2018) yang tergolong tidak mengecewakan. Lainnya? Menguji kesabaran sampai ke titik paling dasar. Menengok kemahirannya dalam berolah peran, kadang saya dibuat bertanya-tanya, “apakah keserupaan tugas ini karena Michelle Ziudith memang enggan untuk mengambil peran diluar zona nyamannya, atau alasannya adalah belum ada sineas yang mempercayainya?”.

Guna mengetahui jawabnya, tentu kita harus bertanya pribadi kepada yang bersangkutan. Hanya saja untuk saat ini, belum ada sedikitpun gejala yang menawarkan Mbak Michelle akan menjajal tugas berbeda. Saya sebetulnya sempat optimis ketika beliau berkenan untuk berlakon dalam Ananta yang diproduksi oleh MD Pictures (bukan Screenplay Films mirip biasanya) mengingat karakternya yang dideskripsikan antisosial jelas memiliki tantangan tersendiri. Tapi dikala mengetahui bahwa film terbarunya yakni Calon Bini dimana beliau disandingkan kembali dengan lawan main langganannya, Rizky Nazar, impian yang tadinya telah mengembang seketika menguncup lagi dan saya pun seketika menjerit, “Ya Tuhanku, kenapa beliau main di film cheesy macam gini lagi?”. Munculnya prasangka mengenai kualitas Calon Bini memang sulit dihindari apabila kalian telah menengok bahan promosinya beserta sinopsisnya. Dalam film ini, Michelle Ziudith berperan sebagai Ningsih, perempuan dari tempat Bantul, Yogyakarta, yang bercita-cita untuk membahagiakan kedua orang tuanya dengan melanjutkan studi ke sekolah tinggi tinggi selepas lulus SMA. Cita-cita yang amat aktual ini sayangnya terbentur oleh keinginan keluarga besarnya untuk menikahkan Ningsih dengan Sapto (Dian Sidik), putra tunggal dari Pak Kades (Butet Kartaredjasa), demi memperbaiki kondisi finansial. Ningsih yang menolak dijodohkan pun menentukan untuk kabur ke Jakarta demi mengadu nasib. Dalam perantauannya, Ningsih berjumpa dengan Satria Bagus (Rizky Nazar) yang petuah-petuah bijaknya mengenai mengejar mimpi membuatnya jatuh hati.


See? Bagaimana mampu saya berpikir aktual ketika guliran pengisahan yang dikulik Calon Bini mempunyai keserupaan dengan banyak judul FTV? Saya bahwasanya paling enggan memberi label “kualitas FTV” terhadap sebuah film yang mempunyai kualitas kurang memadai – terasa tak adil bagi FTV yang terus menerus menerima stereotip tak mengenakkan – tapi sungguh, film ini berada di area tersebut khususnya ketika berbicara soal naskah dan sisi teknis. Tak ada tampilan gambar sinematis dalam Calon Bini yang terlihat begitu ‘murah’ ini, tak ada pula narasi yang menggigit. Titien Wattimena selaku penulis skenario yang memberi penonton kejutan melalui film percintaan keluaran Screenplay Films yang paling mampu ditolerir, Something in Between (2018), seolah dipaksa tunduk untuk mengkreasi jalinan penceritaan yang digemari oleh pasar utama film-film sejenis. Di sini, kamu akan menjumpai formula yang sangat umum dijumpai dalam FTV; si kaya dari kota yang jatuh hati pada si miskin dari desa, dongeng cinta yang muncul mak bedunduk bermodalkan chatting di media sosial, masyarakat kelas menengah bawah di Yogyakarta yang digambarkan teramat sangat udik hingga-hingga bak renang pun dijadiin tempat cuci baju, tektokan antara supir dengan PRT sebagai pemantik tawa, sampai planning perjodohan demi memperbaiki garis nasib. Tambahkan dengan akal bercerita yang kesana kemari, inkonsistensi pada jalan pemikiran abjad utama, plus penyelesaian konflik yang cenderung menggampangkan (well, judul film ini sudah menggambarkan apa yang bakal terjadi di penghujung film), Calon Bini terdengar seperti sebuah mimpi buruk bagi mereka yang menganggap trilogi London Love Story sebagai gejala datangnya hari simpulan.

Saya pun sudah menyiapkan obat pereda sakit kepala untuk mengantisipasi munculnya rasa pening usai menonton sampai kemudian diri ini menyadari kenyataan mengejutkan: Calon Bini ternyata tak ‘semengerikan’ itu. Michelle Ziudith lagi-lagi keluar sebagai penyelamat dan saya harus mengakui bahwa kiprahnya di sini agak berbeda dari biasanya. Ningsih diperlihatkan sebagai langsung yang berdikari nan ceria, alih-alih gemar menyesali murung laranya di bawah derasnya guyuran air hujan. Tapi tetap saja aku ingin memberikan pesan, “Dek, cari peran menantang di film berbobot dong. Sayang bakatmu tersia-siakan begitu saja mirip ini,” dengan nada gemas tapi penuh kasih sayang. Disamping Dek Ziudith, alasan utama mengapa Calon Bini masih mampu dinikmati yaitu performa bagus dari pelakon-pelakon senior seperti Cut Mini, Marwoto, Ramzi, Maya Wulan, Dian Sidik, Slamet Rahardjo, sampai Niniek L Karim. Cut Mini sebagai ibu Ningsih memiliki satu momen emas pada babak ketiga dikala karakternya memberi tatapan tajam penuh kemarahan, sementara Marwoto memegang kendali di elemen komedik bersama Ramzi dan Maya Wulan. Keputusan sang sutradara, Asep Kusdinar (London Love Story, One Fine Day), untuk memakai Bahasa Jawa pada percakapan dalam lingkup keluarga Ningsih ketimbang Bahasa Indonesia yang dibikin medok nan mekso adalah hal lain yang bisa diapresiasi dari film ini. Para pemain menunjukkan perjuangan yang layak diberi jempol (apalagi ada sisipan Bahasa Jawa tingkatan Krama yang terhitung sulit!) dan pemakaian bahasa Jawa turut menawarkan perhiasan rasa dalam guyonannya yang sangat mungkin akan memberi impak berbeda kalau dialihbahasakan. Bagi aku, dua faktor inilah yang membantu mengangkat derajat Calon Bini sehingga masih mampu tersaji sebagai tontonan yang cukup menghibur sekalipun narasinya acapkali bikin pening. 

Acceptable (2,5/5) 


Post a Comment for "Review : Calon Bini"