Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : 1917


“I hoped today would be a good day. Hope is a dangerous thing.”

Saat melangkahkan kaki ke bioskop untuk menonton 1917, aku sejatinya sudah tahu akan menyaksikan film yang anggun. Materi promosinya terlihat menggiurkan, kritikus aneh menghujaninya dengan puja-puji, dan para juri Oscar pun tidak keberatan untuk menempatkan film ini sebagai nomine ke dalam 10 kategori. Singkat kata, tidak mungkin untuk tidak menanamkan ekspektasi tinggi kala menonton 1917. Mengira mungkin diri ini tidak akan terlampau terpukau – well, umumnya pengharapan kelewat tinggi justru berbanding terbalik dengan realita – nyatanya saya justru ingin memberikan standing ovation selepas lampu bioskop dinyalakan seraya mengusap satu dua bulir air mata yang menuruni pipi. Sungguh, mahakarya ialah satu kata yang teramat cocok untuk mendeskripsikan mirip apa 1917. Jika saja Sam Mendes (American Beauty, Skyfall) berada di ruang pemutaran periode itu, mungkin saya sudah menjabat tangannya bersahabat-akrab kemudian memberinya pelukan. Rangkaian kata-kata ini mungkin terdengar amat hiperbolis, tapi sepanjang durasi merentang sepanjang 120 menit, hamba memang tak henti-hentinya dibentuk terkagum-kagum oleh kepiawaian Pak Mendes dalam menghaturkan “dongengnya” mengenai sepenggal kejadian yang terjadi dalam Perang Dunia pertama. Sebuah “dongeng” bermuatan topik yang jarang disentuh dalam genre war movies oleh sineas Hollywood ini diimplementasikan dengan sangat mengagumkan ke dalam bahasa audio visual. Tidak semata-mata membuai penonton melalui keajaiban teknisnya, 1917 juga menghanyutkan berkat narasinya yang mempunyai hati.

Pada dasarnya, guliran pengisahan dalam 1917 yang dikembangkan dari sebuah kisah peninggalan kakeknya Pak Mendes ini terbilang sederhana. Tidak melibatkan banyak tokoh, kawasan, maupun kejadian seperti umumnya film dari genre sejenis. Di sini, cakupan narasinya sebatas terletak pada rentetan peristiwa yang dialami oleh dua prajurit kelas bawah, Will Schofield (George MacKay) dan Tom Blake (Dean-Charles Chapman), sepanjang tanggal 6 April 1917 di Prancis utara. Kedua prajurit yang tidak mempunyai keistimewaan dalam hal apapun ini, baik dari kemampuan maupun latar belakang, mendadak memperoleh mandat besar dari atasannya, Jenderal Erinmore (Colin Firth), untuk mengantarkan satu surat berisi pesan penting. Sebuah pesan yang meminta Kolonel Mackenzie (Benedict Cumberbatch) selaku pemimpin Batalion Kedua Resimen Devon untuk mengurungkan rencananya dalam menyerang pasukan Jerman dengan mengerahkan 1.600 prajurit. Alasannya, Erinmore telah mendapati bukti kuat yang menawarkan bahwa mundurnya Jerman yaitu bagian dari taktik untuk menjebak pasukan musuh. Tak ingin Resimen Devon luluh lantak secara sia-sia karena terkena perangkap, Erinmore pun menitahkan Tom Blake yang konon memiliki saudara kandung di daerah tujuan bersama sobat baiknya yang semula ogah-ogahan menjalani peran, Will Schofield. Tugas “mengirim surat” ini terang bukan kasus sepele bagi Tom dan Will terlebih lagi keduanya mesti melintasi area sangat luas yang tadinya diduduki oleh Jerman. Ditengah pertempuran yang masih aktif berkobar, siapa yang tahu apa yang menanti mereka dalam perjalanan ini. 



1917 tidak membutuhkan waktu usang untuk membetot atensi. Mendes menanggalkan segala bentuk basa-kedaluwarsa di menit pembuka dengan pribadi menghadapkan penonton beserta dua protagonis utama ke inti problem: ada surat penting yang harus diantar ke suatu kawasan sempurna pada waktunya. Dari beberapa baris obrolan yang diucapkan oleh Jenderal Erinmore, kita mempelajari ihwal situasi yang tengah berlangsung dalam film. Satu situasi yang nantinya tak dielaborasi secara jauh karena 1917 menerapkan satu garis penceritaan yang senantiasa melingkungi Will atau Tom. Oleh karena itu, si pembuat film memutuskan untuk memunculkan ilusi one continuous take (mirip dilakukan Birdman tempo hari) dimana film seakan-akan diambil hanya dalam satu tangkapan saja. Bukan sekadar untuk pamer keahlian mengingat metode semacam ini membutuhkan waktu persiapan lebih panjang nan mendetil (1917 sendiri menjalani geladi higienis selama 4 bulan!) demi meminimalisir kesalahan, melainkan lebih kepada menopang kebutuhan bercerita. Pak Mendes ingin menonjolkan kesan riil, menghadirkan keintiman, sekaligus memunculkan urgensi. Penonton dibentuk seperti tengah mengikuti perjalanan Will dan Tom secara real-time yang berarti kita tidak pernah meninggalkan mereka, kita senantiasa mengutit di belakang mereka, dan kita diposisikan untuk mengobservasi keduanya. Dengan demikian, secara berangsur-angsur ada tenggang rasa yang terbentuk kepada para protagonis ini terlebih penokohan keduanya sebagai “everyman” memungkinkan bagi penonton untuk terhubung dengan Will maupun Tom. Mereka tak ubahnya sobat yang kita kenal, mereka tak ubahnya saudara di rumah, dan mereka tak ubahnya diri kita sendiri. Itulah mengapa, sekalipun naskah tak memberi latar belakang memadai bagi keduanya, kita masih bisa menaruh kepedulian kepada mereka. Kita ingin Tom bereuni dengan saudaranya, kita pun ingin melihat dua pemuda ini menyelesaikan misi dan menggenggam medali seperti diimpikan oleh salah satu dari mereka.

Tentu, ini tak mampu dilepaskan dari performa ciamik yang diperagakan oleh George MacKay dan Dean-Charles Chapman. Adu dialog diantara dua pemain drama ini memang mengesankan yang memberi berita embel-embel untuk penonton wacana karakteristik dan situasi yang tengah berlangsung. Tapi momen-momen terbaik justru muncul dikala mereka dituntut untuk menanggapi keadaan melalui mimik muka atau gestur badan. Dari sana, kita mampu mengonfirmasi bahwa baik Will maupun Tom menjalani misi ini dengan ketidakberdayaan. Ada rasa takut, frustasi, serta lelah yang menggelayuti. Bahkan, Mendes menghadirkan satu dua momen mengharu biru yang mempersilahkan kedua karakternya ini untuk melampiaskan emosi-emosi yang tertahan sampai-hingga aku ingin sekali memperlihatkan pelukan dan mendengarkan keluh kesah mereka. Suatu reaksi yang jujur saja mulanya tak terbayang akan aku dapati abad menonton film ini. Betapa tidak, 1917 telah menggelontorkan pertunjukkan teknis yang benar-benar membuat diri ini berdecak kagum dan berdasarkan pengalaman terdahulu, film yang menonjolkan elemen teknis umumnya cenderung menganaktirikan “rasa” sehingga terasa cabar nan dingin.  Yang penting pemirsa telah terpukau, yang penting para hadirin telah geleng-geleng kepala menyaksikan hamparan visual di layar. Maka begitu terkejutnya saya saat mengetahui Mendes berupaya memaksimalkan pengalaman penonton dengan mengkreasi sederet momen yang meremas-remas hati sensitif. Momennya memang sederhana saja, mirip “mendorong truk bersama-sama”, “memberi susu untuk bayi”, hingga “nyanyian di hutan”, tapi sensitivitas yang terkandung di dalamnya memungkinkan kita untuk mencicipi kehangatan di hati, lalu menyeka air mata yang bercucuran.


Ya, 1917 memang tak main-main dalam hal membolak-balikkan emosi. Keterampilan Pak Mendes dalam menyuplai rasa, mengakibatkan topik perbincangan yang diapungkan oleh film seputar determinasi, loyalitas, hingga kemanusiaan dapat tersampaikan dengan baik ke penonton. Bukan saja mampu membuat berkaca-beling, film pun akan membuatmu mencengkram bersahabat-erat kursi bioskop di sepanjang durasinya. Semenjak Tom dan Will menjejakkan kaki di area musuh, pada ketika itulah intensitas mengalami eskalasi secara pasti. Kolaborasi tiga sektor teknis adalah pengambilan gambar dari Roger Deakins (sinematografer langganan Mendes yang dua tahun lalu menggondol Oscar lewat Blade Runner 2049) yang sungguh lincah mengikuti pergerakan para abjad, penyuntingan gambar oleh Lee Smith yang menciptakan kita meyakini bahwa film betulan mengaplikasikan one continuous take, iringan musik yang digubah oleh Thomas Newman, dan desain produksi yang detil dalam merekonstruksi medan peperangan, memungkinkan bagi penonton untuk mencicipi atmosfer perang yang tak ubahnya “film horor”. Memungkinkan bagi penonton untuk merasa seolah-olah sedang berada bersama Tom atau Will. Memang benar bahwa 1917 tidak menyoroti tubruk tempur – dan lebih kepada efek dari pertempuran – tapi itu tak lantas menyurutkan daya cekamnya lantaran zona yang dilintasi oleh para protagonis belum bisa disebut steril. Diluar mayat-mayat bergelimpangan dan tikus menyebalkan, ada jebakan bertebaran dan masih ada pula musuh mengintai yang entah berada dimana. Setiap sudut memantik kewaspadaan beserta kecurigaan yang membuat saya tidak mampu duduk dengan tenang di bioskop saking tegangnya. Perhatian terus menempel ke layar, jantung senantiasa berdebar-debar, dan saya pun harap-harap cemas dengan nasib para huruf. Jika nantinya 1917 memenangkan Best Picture di Oscars, saya pun tidak keberatan alasannya adalah sungguh film ini telah menunjukkan pengalaman sinematis yang luar biasa. You don’t want to miss this one!

Intermezzo : Siapa villain bahu-membahu di film ini? Jerman atau tikus? 

Outstanding (4,5/5)


Post a Comment for "Review : 1917"