Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : One Cut Of The Dead


“Pom!” 

Seusai menonton One Cut of the Dead, sulit untuk tak menyebutnya sebagai film yang mengagumkan. Saya sama sekali tak menerka bahwa menu zombie yang belakangan ini sudah mulai memudar pesonanya masih memungkinkan untuk dieksplorasi dengan pendekatan yang tak terbayangkan sebelumnya. “Ini asing sih,” adalah respon yang pertama kali meluncur dari lisan begitu lampu bioskop dinyalakan yang disambut tepuk tangan aib-malu dari beberapa penonton. Ya, ada banyak kegilaan yang bisa kau dapatkan di film ini dan catatan terbesar yang perlu aku sampaikan kepada kalian: ini tidak berhubungan dengan muncratan darah, serpihan-potongan tubuh, maupun gaya membunuh si zombie yang kreatif. Sesuatu yang kerap diperkirakan oleh banyak orang, termasuk beberapa kawan baik yang sudah terlampau malas untuk menonton film teror mayat hidup. Perlu ditekankan, One Cut of the Dead bukanlah tontonan zombie konvensional dan apa yang kau saksikan di bahan promosi hanyalah mengungkap segelintir apa yang telah dipersiapkan oleh sang sutradara, Shinichiro Ueda. Benar-benar mengecoh atau dalam hal ini berfungsi untuk ‘melindungi’ film sehingga penonton dapat memperoleh kenikmatan yang mengejutkan dikala memutuskan memberi kesempatan pada film berdurasi 97 menit ini – meski ada konsekuensi akan mengalienasi calon penonton dan mengecewakan penonton dengan ekspektasi memperoleh tontonan selaiknya trailer. 

Saya pribadi memberikan minat pada One Cut of the Dead bukan disebabkan oleh trailer film bersangkutan, melainkan oleh fenomena tersendiri yang diciptakannya di Jepang. Dikreasi dengan bujet sangat minim (konon, sekitar $27 ribu atau setara dengan biaya produksi rata-rata film indie di Indonesia) dan ditayangkan hanya di satu teater cilik pada penghujung tahun 2017, One Cut of the Dead gres memperoleh kesempatan untuk unjuk gigi selepas direspon konkret di Udine International Film Festival. Secara sedikit demi sedikit, film dilepas ke bioskop-bioskop Jepang memakai promo “diskon bagi penonton dengan dandanan ala zombie” yang ternyata ditanggapi riuh oleh khalayak ramai. Walau jumlah layar bioskop yang menayangkannya tak melimpah ruah, One Cut of the Dead secara konsisten bertahan di carta mingguan sepuluh besar film terlaris selama beberapa bulan yang seketika memberinya status: sleeper hit. Menilik prestasi komersilnya tersebut – yang juga kerap diwartakan oleh media arus utama kenamaan – maka tentu saja diri ini tergelitik untuk mengetahui: apa sih yang menjadikan word of mouth dari One Cut of the Dead di kalangan penonton umum mampu berjalan dengan sedemikian baik? Lebih-lebih, apabila ditengok sepintas kemudian, tampak tak ada yang istimewa dari film ini kecuali adegan pembukanya yang berlangsung selama 37 menit dan nekat melaksanakan pengambilan gambar dalam satu kali take saja. 


Adegan pembuka yang sudah lebih dari memadai untuk dijadikan sebagai satu film pendek ini yakni satu-satunya yang mampu saya ceritakan dengan bebas di sinopsis ini. Melalui adegan pembuka tersebut, kita dipertemukan dengan sejumlah kru film yang tengah melaksanakan syuting film zombie di sebuah gudang terbengkalai. Sayangnya syuting tidak berjalan dengan mulus lantaran si aktris utama, Aika (Yuzuki Akiyama), gagal menampilkan lisan ketakutan yang meyakinkan mirip dibutuhkan oleh sang sutradara, Takayuki (Takayuki Hamatsu). Alhasil, Takayuki yang acapkali murka-marah pun menitahkan pemain dan kru untuk melaksanakan pengambilan gambar ulang hingga 42 kali demi memperoleh ekspresi ketakutan yang diperlukan. Luar biasa sekali, ya? Disela-sela rehat sebelum pengambilan gambar berikutnya dilangsungkan, Aika bercakap-cakap dengan lawan mainnya, Kazuaki (Kazuaki Nagaya), beserta penata rias, Harumi (Harumi Shuhama), mengenai aneka macam hal. Dari keluh kelah terhadap sifat perfeksionis Takayuki, berlanjut ke mitos menakutkan dibalik gudang yang dijadikan daerah syuting, sampai hal remeh temeh mengenai hobi. Percakapan kalem yang cenderung ngalor ngidul sesuka hati ini – terutama sesudah beberapa ketika – mendadak buyar usai gudang tersebut kedatangan tamu tak diundang: mayit hidup betulan. Para kru dan bintang film zombie ini pun seketika panik sebab mesti bertahan hidup dari serangan zombie orisinil, sementara Takayuki justru menganggapnya sebagai kesempatan emas untuk mendapatkan mulut ketakutan Aika yang natural. 

Apabila kamu hanya mengandalkan sinopsis singkat ini (plus trailer yang memberi gambaran mengenai adegan pembuka), One Cut of the Dead memang tak tampak menjanjikan. Bahkan, kau juga akan bergulat dengan perasaan yang senada saat melihat pengejawantahannya ke dalam bahasa gambar yang luar biasa abstrak. Mengingatkan pada film zombie kelas B yang mempunyai kualitas penggarapan serta narasi yang ala kadarnya. Satu-satunya yang mampu diapresiasi dari adegan pembuka yaitu usaha si pembuat film untuk merealisasikannya dalam satu kali take. Suatu usaha yang terperinci tidak gampang dan memerlukan keterampilan dalam mengeksekusinya demi meminimalisir kesalahan. Tapi tentu saja, sebagian penonton akan abai dengan fakta ini sehingga reaksi-reaksi seperti “apaan sih?” atau “nggak jelas banget deh!” mungkin akan sering kamu dengar di 37 menit pertama. Jika kamu tidak cukup sabar – dan benar-benar merasa terganggu dengan hidangan kolam digarap amatir di layar – maka bisa jadi dirimu akan mengikuti jejak sejumlah penonton yang menetapkan hengkang pada menit belasan. Pada menit dimana pertunjukkan sebenarnya belum dimulai. Pada menit dimana si pembuat film gres mengajak penonton untuk melaksanakan pemanasan. Tapi jika kau termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bersabar, maka bersiaplah untuk dibuat berdecak kagum dan tertawa tergelak-gelak nyaris tanpa henti selama menikmati sajian utama. 


Saya tidak mampu menjabarkan secara rinci mengenai apa yang terjadi di satu jam berikutnya lantaran tidak ingin mengurangi daya kejutnya. Yang terperinci, kau akan mendapati bahwa One Cut of the Dead bukanlah film zombie berbumbu komedi yang biasa-biasa saja. Ini yaitu surat cinta untuk filmmaking dari seorang filmmaker. Mereka yang pernah mencicipi ribetnya menjalani syuting film – khususnya dalam skala indie dengan bujet mepet – akan dengan gampang terhubung ke guliran pengisahan kemudian dibuat terkekeh-kekeh olehnya. Dan mereka yang belum pernah terlibat dalam penggarapan film tidak perlu risau akan terasingkan alasannya apa yang dipaparkan oleh Shinichiro Ueda bukan juga bersifat langsung. Kamu tidak harus mengetahui seluk beluk proses penggarapan suatu film untuk bisa memahaminya. Malah, One Cut of the Dead akan membantumu untuk melongok proses kreatif dibalik tercetusnya suatu film yang akan membuatmu lebih menunjukkan apresiasi pada film yang kau tonton, walaupun jeleknya amit-amit jabang bayi. Ada berbagai faktor yang menunjukkan imbas terhadap keberhasilan atau kegagalan suatu film dan One Cut of the Dead membahasnya secara cerdas dengan gaya komikal yang menyegarkan. Sulit untuk tak terkagum-kagum menyaksikan pengaturan setiap adegan yang presisi, kemudian sulit pula untuk tak tertawa terbahak-bahak selama menyimak penuturan dari si pembuat film lebih-lebih kalau kau menontonnya dengan crowd yang sempurna. Bakal terasa pom, eh maksud aku, pecah maksimal. Go watch it!

Outstanding (4,5/5)


Post a Comment for "Review : One Cut Of The Dead"