Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Bumi Manusia


“Seorang berakal harus sudah berbuat adil semenjak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”

(Ulasan ini mungkin mengandung spoiler bagi penonton yang tidak membaca novelnya)

Mengekranisasi sebuah novel terang bukan perkara mudah, lebih-lebih kalau novel bersangkutan sudah memiliki basis penggemar yang loyal. Si pembuat film mesti legowo menghadapi serbuan komentar dari jutaan kepala yang masing-masing telah mempunyai imajinasi tersendiri terkait penggambaran latar, situasi, maupun aksara kesayangan mereka. Ada yang bersuka cita karena novel kesayangannya diwujudkan menjadi gambar hidup, ada yang menyimpan keraguan tapi masih bersedia memberi kesempatan, dan ada juga yang secara jelas-terangan memberikan keberatannya sedari awal. Tiga jenis penggemar yang sejatinya bisa dijumpai dari novel jenis apapun, tak terkecuali sastra Indonesia bertajuk Bumi Manusia yang merupakan babak awal dari Tetralogi Pulau Buru rekaan Pramoedya Ananta Toer. Sedari mula proyek pembuatan film adaptasinya dicanangkan, pro dan kontra tak henti-hentinya mengiringi pemberitaan. Dari tadinya dipinang oleh Oliver Stone tapi belakangan diemohi sang pengarang alasannya adalah ingin film digarap oleh anak bangsa, lalu berpindah ke sutradara kontroversial Anggy Umbara, hingga alhasil mendarat di pangkuan Hanung Bramantyo (Sang Pencerah, Kartini) yang memiliki jejak rekam baik dalam mengkreasi film berlatar sejarah. Saat film secara resmi ditangani oleh Hanung dibawah naungan Falcon Pictures, setidaknya ada dua poin keberatan yang paling sering disorot oleh penggemar: 1) upaya sang sutradara untuk menitikberatkan pada elemen percintaan, dan 2) penunjukkan Iqbaal Ramadhan, pelakon utama dalam Dilan 1990 (2018), sebagai pemeran Minke si abjad sentral.

Padahal, tidak ada salahnya bila lalu Hanung menentukan untuk mengambil pendekatan dari dongeng kasih antara Minke dengan Annelies Mellema (Mawar De Jongh) alasannya Bumi Manusia sejatinya merupakan hikayat percintaan. Pram memanfaatkan bahasa cinta yang universal untuk menghantarkan pesan mengenai gosip-berita yang lebih kompleks terkait penindasan, perbudakan, stratifikasi sosial, kolonialisme, prasangka, sampai kemanusiaan di kurun pendudukan Belanda pada penghujung era ke-19. Mengikuti kebutuhannya sebagai sebuah tontonan layar lebar, perspektif yang didayagunakan oleh Hanung memungkinkan bagi film untuk merangkul penonton awam yang belum pernah membaca materi sumbernya. Toh, versi layar lebar dari Bumi Manusia tidak pernah benar-benar melenceng dari topik pembicaraan yang diajukan oleh sang pengarang. Kisah cinta antara Minke dengan Annelies hanyalah sepenggal cerita yang berfungsi untuk memandu penonton dalam memahami kisah-kisah lain dalam “bumi insan” yang tersusun atas: 1) cerita Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) yang pembawaannya menciptakan Minke tercengang karena berbeda dengan nyai atau gundik lain yang selama ini diketahuinya, 2) cerita keluarga Mellema yang carut marut akhir kebiasaan si kepala rumah tangga untuk mabuk-mabukan sementara si anak sulung, Robert (Giorgino Abraham) tidak juga mampu diharapkan, 3) dongeng keluarga Minke yang notabene merupakan bangsawan Jawa, 4) dongeng sahabat-sahabat Minke di sekolah HBS (Hogere Burgerschool) yang memiliki pandangan terpecah mengenai Hindia Belanda, serta 5) kisah Minke sendiri sebagai seorang pribumi ditengah-tengah kedigdayaan masyarakat berdarah Belanda.


Mengedepankan narasi sepadat itu yang merupakan hasil interpretasi atas novel setebal 500 halaman lebih, tidak mengherankan jika Bumi Manusia membutuhkan durasi penceritaan sepanjang tiga jam. Sebuah durasi yang belum apa-apa sudah bikin gentar sebagian penonton sebab, “hey, apa mampu aku tetap melek dan bertahan di kursi bioskop? 3 jam itu lama lho!.” Saya juga mulanya dihadapkan pada keraguan karena membutuhkan seseorang bergelar master of storytelling semoga menciptakan durasi sepanjang itu terasa hanya sekejap saja. Hanung yang belakangan ini cenderung fluktuatif dalam bercerita (well, kerjasamanya bersama Falcon dalam bentuk Benyamin Biang Kerok dan Jomblo tidak berakhir senang), nyatanya sanggup menyampaikan cerita secara lancar tanpa terbata-bata. Dibawah penanganannya, Bumi Manusia tersaji sebagai tontonan epik yang menambat atensi sekaligus mempermainkan emosi sehingga durasi panjang bukan jadi soal. Sedari menit pembuka, film telah mencuri perhatian penonton melalui pertemanan Minke dengan Suurhof (Jerome Kurnia) yang separuh Belanda. Dari sosok Suurhof lah, Minke mampu berkenalan dengan Annelies yang kemudian menambat hatinya. Saat si abjad utama menginjakkan kaki di rumah keluarga Mellema, garis konflik secara perlahan tapi niscaya bergerak dinamis. Satu demi satu konflik bermunculan yang dimulai dari keengganan Robert untuk menghargai Minke lantaran ada perbedaan kasta sosial diantara mereka. Dari sini, film yang berpatokan pada naskah apik bentukan Salman Aristo memunculkan ketertarikan pada penonton dengan tanya: akankah Robert mengambil tindakan lebih jauh untuk menyingkirkan Minke yang dipandangnya sebagai pribumi rendahan? Lalu, bagaimana korelasi antara Minke dengan Annelies akan berkembang terlebih mereka berasal dari dunia yang berbeda? Selepas balasan untuk pertanyaan-pertanyaan ini diurai, konflik lantas mengalami eskalasi yang membawa situasi menjadi semakin rumit sekaligus mencengkram yang menghadapkan aksara-abjad utama dengan aturan Belanda yang enggan memperlihatkan keberpihakannya pada masyarakat orisinil Indonesia.

Saya pribadi menyukai pilihan si pembuat film dalam menghadirkan tata musik bernuansa klasik yang acapkali memberi kesan megah serta keputusan memakai bermacam-macam bahasa yang terdiri dari Belanda, Jawa, Madura, hingga Cina demi menebalkan kesan otentik. Meski pemakaian imbas khusus yang terkadang masih tampak bernafsu dan beberapa properti (khususnya rumah keluarga Mellema) yang kelewat kinclong seperti gres dibuat sempat pula menciptakan aku geli, untungnya Hanung berhasil mengompensasinya dengan keahlian utamanya: mengarahkan pemain. Ya, selain elemen teknis yang berada di kelas wahid dan cara bertutur sang sutradara yang nyaman untuk diikuti, Bumi Manusia memperlihatkan keunggulannya di sektor akting dimana pemain ansambelnya benar-benar berlakon secara solid. Penunjukkan Iqbaal Ramadhan sebagai Minke yang menuai kontroversi nyatanya bisa ditepis dengan mudah oleh sang bintang film yang sekali lagi menandakan bahwa dia merupakan aset berharga bagi perfilman Indonesia. Memang sih Iqbaal ada kalanya tampak canggung dan tidak sepenuhnya meletup dalam menangani momen-momen dramatik, tapi pengalaman melakoni Dilan memungkinkannya untuk menguarkan karisma lelaki idaman serta gampang menjalani adegan cumbu rayu bersama lawan main. Ndilalah, Iqbaal turut mendapat umpan balik memadai dari barisan pemain lain yang memberikan performa luar biasa mengagumkan.


Sembah sujud untuk Sha Ine Febriyanti yang seperti dilahirkan untuk melakonkan Nyai Ontosoroh. Seorang gundik (wanita simpanan pria Belanda) yang membuat Minke terperangah alasannya adalah pengetahuannya yang luas, cara berperilakunya yang berwibawa, serta kecakapannya dalam mengelola bisnis keluarga Mellema. Ine memiliki semacam daya tarik besar lengan berkuasa yang memungkinkan setiap kemunculannya senantiasa mempunyai energi yang menciptakan perhatian kita tertuju kepadanya. Entah ketika ia terlihat mirip wanita tangguh yang tidak tergoyahkan oleh apapun, maupun dikala beliau bertransformasi menjadi wanita tak berdaya yang terinjak-injak oleh sistem. Disamping Ine dan Iqbaal, formasi pemain yang sepatutnya memperoleh apresiasi antara lain Ayu Laksmi sebagai ibu Minke yang memancarkan aura seorang ibu penuh kasih sayang, Donny Damara yang tampil garang dengan warna suara berbeda, Jerome Kurnia sebagai seorang pengkhianat yang mengesalkan, Giorgino Abraham yang memantik kebencian penonton kepada putra sulung keluarga Mellema, Siti Fauziyah sebagai Iyem yang fungsinya sebagai comic relief berhasil memancing gelak tawa, serta Whani Dharmawan sebagai Darsam yang sangar. Lalu bagaimana dengan Mawar De Jongh selaku pemain film Annelies? Well, tampaknya Hanung akan kembali menyandang status sebagai starmaker setelah ini. Usai beberapa tugas kurang mengesankan, Mawar akibatnya tampil bersinar di sini. Sosok Annelies yang mirip damsel in distress dihidupkan secara cemerlang yang membuat kita iba pada kerapuhannya sekaligus kesal pada perilaku manjanya. Tapi kejutan terbesar yang diberikannya berada di adegan pamungkas dimana karakternya justru diperlihatkan pergi dengan kepala tegak dan sebersit senyuman guna mengenyahkan sedih dari orang-orang yang kehilangannya. Dia memenuhi definisi seorang dewi yang menciptakan saya bisa memahami mengapa banyak orang menangisi kepergiannya. She’s so damn good!

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : Bumi Manusia"